» » Pandangan Al-Qur'an Terhadap Kehidupan Manusia


PENDAHULUAN
            Manusia memiliki kecenderungan  untuk  mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemulian yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya kepada kebinasaan. Jika demikian, hal-hal tersebut bukanlah suber kemulian. Kemulian adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiakan secara terus menerus. Kemulian abadi dan langgeng itu ada di sisi Allah swt. Dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjahui larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa, dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Untuk meraih hal tersebut, manusia tidak perlu merasa khawatir kekurangan , karena ia melimpah, melebiihi kebutuhan bahkan keinginan manusia sehingga tidak pernah habis.
            Apabila suatu masyarakat  masih mempertahankan nilai-nilainya, maka perubahan sistem, apalagi sekadar peruabahan penguasa tidak akan menghasilkan parubahan masyarakat. Di sisi lain, semakin luhur dan tinggi suatu nilai, semakin luhur dan tinggi pula yang dapat dicapai, sebaliknya semakin terbatas ia, semakin terbatas pula pencapaiannya. Sekularisme atau pandangan kekinian dan kedisinian, pencapaiannya sangat terbatas, sampai di sini dan kini saja, sehingga menjadikan penganutnya hanya memandang masa kini, dan pada gilirannya melahirkan budaya mumpung. Keiknian dan kedisinian juga menghasilakan kemandekan disamping menjadikan orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan dapat bertindak sewenang-wenang. Nilai yang di ajarakan Islam adalah Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
PEMBAHASAN
A.     Surat Al-Hujarat Ayat 13
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. Al-Hujarat:13)
            Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan sesama muslim, ayat diatas beralih  kepada uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu ayat diatas tidak lagi menggunakan panggilan yang ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seirang laki-laki dan seorang perempuan yakni Adam dan Hawwa’, atau dari sperma (benih laki-laki) dan ovum (indung telur perempuan) serta menjadikan kamu  berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal yang mengantar kamu untuk bantu-membantu serta saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal sehingga tidak ada sesuatupun yang tersembbunyi daripada-Nya, walau detak detik jantung dan niat seseorang.
            Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia erajat kemanusiannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga ada perbedaan nilai pada kemanusian antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seoerang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh panggalan  terakhir ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia dia antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa”. Karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah.
            Diriwayatksn oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaansehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajarmereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak mereka. Sikap keliru ini di kecam oleh Al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemulian di sisi Allah bukan karena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi kerena ketakwaan. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Usaid Ibn  Abi Al Ish berkomentar ketika mendengar Bilal mengumandangkan azan di KA’bah bahwa: Alhamdulillah ayahku wafat sebelum melihat kejadian ini.” Ada lagi yang berkomentar :”apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk beradzan?”
            Apapun sebab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan kesatuan asal-usul manusia dengan menunjukan kesamaan  derajat kemannusian manusia. Tidak wajar seorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lai, bukan saja antar satu bangsa, suku, atau warna kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka. Karena kalaulah ada yang berkata bahwa Hawwa’ yang perempuan itu bersumber dari tulang rusuk Adam, sedang Adam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu lebih tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi seandainya ada yang berkata demikian maka itu khusus terhadap Adam dan Hawwa’, tidak terhadapa semua manusia karena manusia selain mereka berdua – kecuali ‘Isa as. – lahir akibat percampuran laki-laki dan perempuan.
            Dalam konteks ini, sewaktu haji wada’ (perpisahan). Nabi saw. Berpesan antara lain: Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang Arab atau nonArab, tidak juga orang non Arab atas orang Arab, atau orang berkulit hitam atau yang berkulit merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang  paling bertakwa. (HR. Al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah.
            Kata ( شعوب ) syu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( شعب ) sya’b. Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian ( قبيلة ) qabilah yang biasa diterjemahkkan suku yang merujuk pada satu kakek. Qbilah/suku pun terdiri darii sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ( عما رة ) ‘imarah, dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok yang dinamai ( بطن ) . Di bawah bathn ada sekian ( فخذ ) hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil. Terllihat dari penggunaan kata sya’b bahwa ia bukan menunjuk kepada pengertian bangsa sebagaimana dipahami oleh dewasa ini.
            Kata ( تعارفوا ) ta’arafu terambil dari kata ( عرف )’arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan denikian ia berarti saling mengenal.
B.     Surat Ar-Ra’d Ayat 11
له معقبات من بين يديه ومن خلفه يحفظونه من أمر الله إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وإذا أراد الله بقوم سوءا فلا مرد له وما لهم من دونه من وال
Artinya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS. Ar-ra’d: 11)
            Kata  (المعقبا ت  ) al-mu’aqqilbat adalah bentuk jamak dari kata (المعقبة  ) al-ma’aqqibah. Kata tersebut terambil dari kata ( عقب ) ‘aqib yaitu tumit, dari sisn kata tersebut dipahami dalam arti mengiikuti  seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang digunakan disini mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
            Kata (  يحفظونة) yahfazhunahu / memeliharanya dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik ketika dia tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam arti memeliharanya dari gangguan apapun yang dapat menghalangi penciptaannya.
            Kata (بأ مراللله ) bi amr allah  dipahami oleh banyak ulama dalam arti atas perintah Allah. Thabathaba’i memahaminya dalam arti lebih luas. Ulama ini terlebih dahulu menggaris bawahi manusoia bukan sekadar jasmani, tetapi dia dalah makhluk rohani dan jasmani dan yang terpokok dalam segala persoalannya adalah sisi dalamnya yang memuat perasaan dan kehendaknya. Inilah yang terarah kepadanya perintah dan larangannya, dan atas dasarnya  snaksi dan ganjaran dijatuhkan, demikian juga kenyamanan dna kepedihan serta kebahagian dan kesengsaraan. Dari sanalah lahir amal baik atau buruk dan kepadanya ditujukan sifat iman dan kufur, walaupun harus diakui bahwa badan adalah alat yang digunakan untuk meraih tujuan dan maksud-maksudnya.
            Atas dasar itu, Thabathaba’i memahami kata (  من بين يد يهومن خلفه) min bayni yadaihi wa min khalfihi / dihadapannya dan juga dibelakangnya. Pada ayat ini dalam arti seluruh totalitas manusia, yakni seluruh arah yang mengelilingi jasmaninya sepanjang hayatnya, demikian juga kebahagian dan kesengsaraan, ama-amalnya yang baik dan yang buruk, serta apa yang disiapkan baginya dari sanksi atau ganjaran. Selanjutnya Thaba thabba’i mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk lemah. Allah swt. Menyifatinya dengan  makhluk yang tidak memiliki kemampuan untuk menampik mudharat, tidak juga mendatangkan manfaat, tidak kematian, tidak juga kehidupan atau kebangkitan. Dia tidak memiliki kemampuan memeliahara apa yang berkaitan dengan dirinya atau dampak-dampaknya yang baik yang hadir bersama dia sekarang maupun yang telah lalu. Semua itu hanay dapat dipelihara oleh Allah Swt karena Allah adalah Hafidz / Maha Pemelihara (Qs. Asy-syura  42:6) dan juga ada petugas-petugas yang ditugaskan-Nya sebagaimana firman-Nya: dan sesungguhnya atas kamu ada pengawas-pengawas/pemelihara-pemelihara (Qs. Al-Infithar 82:10). Seandainya  tidak ada apa yang dinamai Allah “mu’aqqibat” maka pastilah manusia segera mengalami kebinasaan pada dirinya sendiri baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan yang dihadapannya atau yang sedang terjadi, maupun dibelakangnya. Tetapi karena amr Allah/perintah Allah, yakni karena adanya pemeliharaan atas dasar perintah-Nya untuk memelihara manusia, maka dia tidak punah.
C.     Surat Al-Anfal Ayat 53
ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم
Artinya:
Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (QS. Al-Anfal: 53)
            Apa yang dialami oleh orang-orang kafir itu penyebabnya dijelaskan oleh ayat ini. Demikian kesimpulan hubungan yang dikemukakan oleh sekian pakar. Al-Biqa’i yang dikenal sebagai mufassir yang memberi perhatian yang sangat besar tentang hubungan antar ayat dan surah Al-Qur’an, menghubungkan ayat ini dengan ayat lalu. Yaitu kalau memang Allah telah lama mengetahui bahwa mereka pasti berdosa, maka mengapa tidak segera saja menyiksa mereka? Mengapa Allah memberi mereka peluang untuk mengganggu orang-orang yang dekat kepada-Nya?
Ayat ini menurut Al-Biqa’i menjawab pertanyaan itu! Yakni bahwa yang demikian yang demikian yakni siksaan baik menyangkut waktu, kadar, maupun jenisnya dutetapkan Allah berdasarkan perbuatan mereka mengubah diri mereka. Sebenarnya Allah dapat menyiksa mereka berdasarkan pengetahuan-Nya tentang isi hati mereka, yakni sebelum mereka melahirkannya dalam bentuk perbuatan yang nyata, tetapi Allah tidak melakukan itu karena sunnah dan ketetapan-Nya adalah sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat sedikit atau besar yang telah diaanugerahkan-Nya kepada suatu kaum, tidak juga sebaliknya mengubah kesengsaraan yang dialami oleh suatu kaum menjadi kebahagian hingga kaum itu sendiri terlebih dahulu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, yakni untuk memperoleh nikmat tambahan mereka harus menjadi lebih baik, sedangkan perolehan siksaan adalah akibat mengubah fitrah kesucian mereka menjadi keburukan dan kedurhakaan dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar apapun yang disuarakan makhluk lagi Maha Mengetahui apaun sikap dan tingkah laku mereka.
            Kata لم يك )) lam yaku/tidak akan pada mulanya berbunyi ( لم يكن) lam yakun. Penghapusan huruf nun iru untuk mempersingkat, sekaligus mngisyaratkan bahwa peringatan dan nasehat yaang dikandung ayat-ayat ini hendaknya segera disambut dan jangan di ulur-ulur, karena mengulur dan memperpanjang hanya mempercepat siksa.
            Ayat ini serupa dengan firman-Nya: “ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada satu kaum/ masyarakat, sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka “ (Qs, ar-Ra’d [ 13]: 11 )
            Kedua ayat tersebut – ayat ini dan ayat ar-Ra’d-itu berbiicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat Ar-ra’d menggunakan kata ( م ) ma/apa sehingga mencakup perubahan apapun yakni baik dari nikmat/positif menuju nikmat/murka Illahi/negatif, maupun dari negatif ke positif.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang boleh saja bermula dari seseorang, yang ketika melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, ia baru sendirian tetapi perubahan baru terjadi bila ide yang disebarluaskannnya menggelinding dalam masyarakat. Demikian terlihat dia bermula dari seorang dan berakhir pada msyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan itu “menular” kepada msyarakat luas. Penggunaan kata ( قوم) qaum/kaum, juga menunjukkan bahwa hukum kemsyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras, dan penganut agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan, dan dimanapun kaum itu berada. Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau yang di istilahkan oleh ayar di atas dengan apa menyangkut banyak hal seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan, dan penyakit, kemulian dan kehinaan, perpecahan dan persatuan, dan lain-lain yang berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu.
            Ayat itu juuga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa perubahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam diri mereka terlebih dahulu, maka mustahil akan terjadi perubahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA 
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol 13
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol 6

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol 5

About Kutaradjablog.spot

Ucapan terimakasih Admin ucapkan kepada para pengunjung yang telah setia berkunjung ke blog ini sampai hari ini. Walaupun tidak semuanya merupakan pengunjung setia ( kebanyakan pendatang baru ) tetap saja Admin merasa bahagia dengan jumlah pageview dan unique visitor yang hadir di blog Ini
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply