METODE IKHTILAF AL HADIS
A. Pengertian
Ikhtilaf al-Hadis
Secara garis
besar, ilmu ini mencakup seluruh hadis yang secara lahir bertentangan. Yaitu
dengan cara jam’u (mengompromikan dua hadis atau lebih tersebut) dan taufiq
(mencocokkan) dengan cara taqyid (membatasi teks yang mutlak), takhsis
(menentukan cakupan teks yang umum), atau dengan memposisikan hadis sesuai
dengan asbabul wurudnya, atau lainnya. Sebagaimana metode ini kadang-kadang juga
diaplikasikan pada hadis yang sulit dipahami dengan mentakwil atau
menjelaskannya, meskipun tidak ada hadis lain yang menentangnya.[1
a.
Ikhtilaf al-Hadis
Dalam kamus Ilmu hadis totok jumantoro mencantumkan kata Ikhtilaf jama’ dari kata mukhtalif
artinya yang berselisih atau yang bertentangan, adapun yang dimaksud mukhtalifful
hadis artinya yang bertentangan dari hadis,
yang dikehendaki dalam ilmu hadis adalah:
هُوَ مَا طَرَأَ
عَلَى الَّروِيْ سُوْءٌ اَلْحِفْظِ لْكِبَرِ أَوْ إِحْتِرَاقُ كُتْبِهِ أَوْ عَدَ
مِهَا
“Hadis yang rawinya buruk hafalannya,
disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang
kitab-kitabnya”.
Yang dikehendaki dengan su’ul hifdzi adalah kalau
salahnya lebih banyak dari betulnya, dan hafalannya tidak lebih banyak dari
lupanya[2]
Ajajaj Al-khattib mendefenisikan ilmu yang khusus
mempelejari ikhtilaf al-Hadis yaitu:
اَلْعِلْمُ
الَّذِيْ يُبْحَثُ فيِ الْاَحَادِيْثُ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ
تَعَارُضُهَا أَوْيُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِيْ الْاَحَا دِيْثُ
اَلَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّ رُهَا فَيَدْفَعُ اَشْكَا لَهاَ وَيُوَ
ضِّحُ حَقِيْقَتِهَا
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya
saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengompromikannya, disamping membahas hadis yang sulit difahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya”[3]
Defenisi yang lainnya menyebutkan:
عِلْمُ يُبْحَثُ عَنِ الْأَحَادِيْثِ
الَّتِىْ ظَاهِرَهَا التَّنَاقُضُ مِنْ حَيْثُ اِمْكَانِ الْجَمِعُ بَيْنَهَا اِمَّا
بِتَقِيْدِ مُطْلَقِهَا أَوْ بِتَخْصِيْصِ عَامِهَا أَوْ حَمْلِهَا عَلَى تَعَدُّدِ
الْحَادِثَةِ أَوْغَيْرِ ذَالِكَ.
“Ilmu yang
membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan karena
adanya kemungkinan dapat
dikompromikan baik dengan cara mentataqyid
terhadap hadits yang mutlak atau mentakhsis terhadap yang umum atau dengan cara membawanya pada
beberapa kejadian yang relevan dengan hadits, dan lain-lain”.[4]
b. Ta’arudh (pendapat ulama)
Menurut
Ajjaj al-khattib dalam bukunya Ushul al-hadis, penyebab berbedanya redaksi
hadis dan bedanya para ulama dalam mengambil kesimpulan hukum dapat dibagi
menjadi empat faktor yang menyebabkan hadis-hadis tampak saling bertentangan, yaitu:
a. Faktor internal hadis (al-âmil al-dâkhili), yakni
menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang terkesan bertentangan.
b. Faktor eksternal (al-’âmil
al-khâriji), yakni faktor yang disebabkan oleh konteks waktu dan tempat
(geografis) di mana Nabi Saw menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau berbicara.
c. Faktor metodologi (al-bu’du al-manhaji),yakni berkaitan dengan proses dan cara
seseorang memahami hadis tersebut.
d.
Faktor ideologi (al-bu’du al-madzhabi), yakni berkaitan dengan ideologi
atau madzhab seseorang ketika memahami suatu hadis.[5]
c.
Sejarah Perkembangan Tokoh dalam
Ilmu Ikhtilaf Hadis
Tidak
banyak kitab-kitab yang membahas secara mendatail mengenai sejarah perkembangan
ilmu ikhtilaf hadis, namun perkembangan ilmu ini bisa dilihat dari kitab-kitab
yang dikarang oleh Ulama berdasarkan tahunnya, ilmu mukhtalif ini pada dasarnya
hanya dalam bentuk teori praktis belum menjadi sebuah disiplin ilmu namun pada
periode selanjutya terjadinya banyak pertanyaan dari kaum ahli kitab (nasrani)
mengenai hadis-hadis yang disampaikan Rasulullah s.a.w yang menurut pengetahuan
mereka bertentangan.
Ulama
pertama yang mengarang teori ini adalah Imam Muhammad Idris Al-Syafi’I (150-204
H), karya yang terpepuler, dan kitab
yang dikarangnya adalah kitab Ikhtilaf al Hadis, dan merupakan
kitab terklasik sampai kepada kita, beliau tidak bermaksud meyebutkan semua
hadis yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut sebagian saja,
menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukannya agar menjadikan sebagai sampel
oleh ulama lain.
Setelah
karya Imam as-Syafi’i, karya yang terpepuler dari kitab Ta’wil Mukhtalif
Hadis karya Imam al-Hafidzh Abdullah ibn Muslim ibnu Qutaibahad-Dainury
(213-276). Beliau meyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadis yang
melancarkan beberapa tuduhuan kepada ahli hadis dengan sejumlah periwayatan
beberpa hadis yang bertentangan, beliau menjelaskan hadis-hadis yang mereka
klaim saling kontradiktif dan memberikan tangagpan terhadap kerancuan-kerancuan
seputar hadis-hadis itu. Kitab beliau itu menepati posisi yang sangat tinggi
dalam khazanah intelektual islam, bahkan
mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara kelompok mu’tazilah,
mutasyabihah dan lain
Selanjutnya
dalam bidang ini, yang terpopuler diantara karya-karya yang sampai kepada kita adalah
kitab Musykil al-Atsar Karya Imam al-Muhadddis Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan (Ibnu Faruk)
al-Anshari al-Ashbahari yang wafat tahun tahun 406 H. Beliau menyusunnya
berkenan dengan hadis-hadis secara literal dan kontradiktif, mengandung tasybih
dan tajsim yang dijadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap
agama, lalu beliau menjelaskan maksudnya, dan membatalkannya banyaknya klaim
yang salah seputar hadis-hadis itu dengan beragumen pada dalil-dalil aqli dan
naqli kitab itu telah dicetak diindia pada tahun 1362.[6]
d.
Penyelesaian Ikhtilaf
al-Hadis
Suatu
prinsip yang ditentukan imam As-syafi’I dalam menghadapi dan menyelesaikan
hadis-hadis mukhtalif, terkandung dalam pernyataan sebagai berikut dalam
pernyataanya sebagai berikut:
لا تجعل عن رسو ل الله حديثين مختلفين
ابد اذا وجد الببل الى ان بكونا متعملين فلا تعطلل منهما وا حدا لأ ن علينا في كل
ما علينا في ما حبه ولا تجعل الختلف الا فيما لا يجوز ان يتمعل ا بدا الا بطر ح
حبه
Artinya
: jangan sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah saw. satu dengan
lainnya selama mungkin ditemukan jalan (untuk mengompromikannya) agar
hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan, Jangan diterlantarkan yang satu
lantaran yang lain karena kita punya kewajiban
yang sama untuk jangan jadikan (nilai) hadis-hadis tersebut sebagai
pertentangan kecuali apabila tidak mungkin dapat diamalkan selain harus
meninggalkan salah satunya
Sejalan
dengan prinsip diatas maka cara penyelesaian hadis-hadis mukhtalif
secara umum dibagi menjadi empat bagian.
1.
Penyelesaian
dalam bentuk Kompromi atau juga disebut dengan (al-Jam’u wa
at-Taufîq)
Yang dimaksud dengan penyelesaian dalam bentuk
kompromi ini adalah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dari pertentangan
yang tampak (makna lahiriahnya) dengan cara menelurusuri titik temu kandungan
maknanya yang dituju oleh yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan,
atau dengan perkataan lain, dengan cara mencari pemahaman yang tepat terhadap
hadis-hadis yang tampak saling bertentangan tersebut. Yang menunjukkan
kesejelanan atau kesalingterikatan makna dikandungnya sehingga masing-masingnya
dapat diamalkan sesuai dengan tuntunannya.
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjîh (mengumpulkan
salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa
at-taufîq ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dha’îf (lemah) yang
bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.[7]
2. Penyelesaian dalam bentuk Nasakh
Secara luhgat
kata nasakh mengandung arti menghilangkan al-izaalat,
membatalkan, al ibthal dan menukarkan, al tabdil, memalingkan at-tahwil
dan memindahkan an naql.
Adapun menurut istilah nasakh sebagaimana dirumuskan ulama ushuliyyun
:
رفع الشراع حكما شر عيا بد ليل شر عى
متراخ عنه
Artinya : Diangkatnya
suatu hukum syar’iyah oleh syar’i berdasarkan dalil syar’i
yang datang kemudian.
Maksudnya adalah suatu
hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian dinyatakan sebagai tidak berlaku lagi.
Secara bahasa naskh
bisa berarti menghilangkan (al–izâlah), bisa pula berarti al-naql
(memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang
dilakukan oleh Syâri’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah
s.a.w.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan
dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa
hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayân) dari
hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus
(takhsîsh) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan
sebagai hadits nâsikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa
proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad s.aw.
masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya
hanyalah Syâri’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya
terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan
terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrâr al-
hukm). [8]
Salah satu contoh dua
hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nâsikh-mansûkh
adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
أخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ
قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى
بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ
بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ
عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ
قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ
الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadîts di atas terlihat saling
bertantangan, hadîts pertama berisi tentang larangan makan daging kuda
yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolehan memakan
daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidah hatus dihilangkan dengan cara naskh.
Hukum keharaman makan daging kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan
oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang
datang setelahnya.[9]
3.
Penyelesaian
Dalam Bentuk Tarjih
Selanjutnya
apabila hadis-hadis mukhtalif yang ditemukan tidak bisa dikompromikan dan tidak pula ditemukan
keterangan yang menunjukkan bahwa antara satu dengan lainnya telah terjadi
nasakh seperti dijelaskan dalam uraian yang lalu, maka langkah penyelesaian
berikutnya yang telah ditempuh imam as-syafi’I adalah dengan cara tarjih.
Tarjih
sebagaimana dirumuskan oleh para ulama, dapat diartikan sebagai
“memperbandingkan dalil-dalil diantaranya yang lebih kuat dibanding dengan yang
lainnya”.
Yang dimaksud
dengan tarjih ialah membandingkan hadis-hadis yang tampak bertentangan yang
tidak bisa dikompromikan dan tidak pula terkait sebagai nasikh dan mansukh,
dengan mengkaji lebih jauh hal-hal terkait dengan masing-masingnya agar dapat
diketahui manakah sebenarnya diantara hadis-hadis tersebut lebih yang lebih
kuat atau yang lebih tingggi nilai hujjahnya dibanding dengan yang lain untuk
selanjutnya dipegang dan diamalkan yang kuat dan ditinggalkan yang lemah
(lawannya). Hadis (dalil) yang lebih kuat disebut sebagai dalil yang rajih
sedang yang lainnya (yang lemah) disebut marjuh. [10]
4.
Penyelesaian
dalam Masalah tanawwu’ al ibadah
Dalam masalah
tanawwu’ al ibadah adalah keragaman tatat cara beribadah, penyebab terjadinya keragaman
ibadah salah satunya yakni menyangkut tata cara pelaksanaan, seperti contoh
dalam masalah tata cara berwudhu’ Rasulullah ditemukan beberapa riwayat yang
menarangkannya dengan cara yang berbeda. Menurut riwayat Ibn Abbas, Rasulullah
membasuh anggota wudhunya, masing-masing satu kali, satu kali, menurut
‘Abdullah ibn Zaid, masing-masingnya dibasuh dua kali, sementara menurut
riwayat ‘usman masing-masingnya tiga kali, hadis-hadis tersebut sama-sama sahih
maqbul oleh karena itu sama-sama dapat dijadikan hujah untuk dipegang
dana diamalkan.
Untuk bentuk
yang kedua, yakni menyangkut bacaaan yang dibaca, dalam contoh yang lalu dikemukakan
bahwa dalam masalah tasyahud ditemukan banyak riwayat yang menerangkannya, yang
antara satu dengan yang lain mengandung redaksi yang berbeda. Bacaan tasyahud
menurut riwayat Ibn ‘Abbas, misalnya, berbeda redaksi dengan yang diriwayatkan
oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Selanjutnya, menurut riwayat dari Abdullah bin
mas’ud berbeda pula redaksinya dari yang diriwayatkan oleh ibu ‘Abbas maupun
oleh Umar ibn al-Khattab. Hadis-hadis tersebut sama-sama dalam kategori maqbul,
yakni memenuhi syarat untuk diterima dan diamalkan.
Masalah yang
muncul menyangkut menyangkut hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah ini adalah bagaiman
harusnya sikap kita dalam menghadapinya diantaranya yang harus dipegang dan
diamalkan, penyelesaian tanawwu al-ibadah ini menurut as-syafi’I tidak bisa
diambil lebih maqbul salah satunya jika memang keduanya sama-sama maqbul karena
hadis tersebut bersal dari nabi Muhammad saw dan juga pertentangan salah satu
diantaranya tidak saling pertentangan sebagaimana pertentangan halal dan haram,
atau antara perintah atau larangan, dengan arti tidak mungkin dikompromikan
atau dicari titik temu.
Adapun
perhatian imam asy-syafi’I menilai hadis-hadis tersebut bisa diterima, dapat
dibagi menjadi tiga bagian
1.
Bahwa
hadis-hadis tersebut semuanya berkualitas sahih (maqbul) oleh karena
iru, semua dapat diterima dan dijadikan hujjah untuk diamalkan
2.
Bahwa
ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing hadis tersebut sekalipun terdapat
perbedaan, namun satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan (kontradiksi)
yang tidak dapat dikompromikan atau dicari titik temunya.
3.
Bahwa dalam
masalah Ibadah, kita tidak bisa mengatakan bahwa mengapa hadis-hadis tersebut
sedemikian rupa karena itu berasal dari rasulullah maka wajib untuk diikuti,
sebagai mana kaidah yang telah ditetapkan oleh para Ulama.
ا لا مل في
العبادات التو قيف والاتباع
“ Hukum asal dalam
masalah ibadah ialah menerima dan mengikuti (sebagaimana diajarkan Rasulullah)”
Jadi
dalam menghadapi hadis-hadis tanawwu’ al-Ibadah pertama harus
diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam katagori maqbul
atau tidak, kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang
dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada pertentangan )
(kontradiksi) atau tidak, apabila semua
termasuk katagori maqbul dan perbedaan antara satu dan yang lainnya tidak
membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis
tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujahannya untuk diikuti dan
diamalkan, ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah dipahami sebagai cara atau
bentuk-bentuk pelaksanaannya (jika hadis-hadis tersebut mengyangkut cara-cara
pelaksanaan), atua macam-macam bentuk bacaan (jika hadis-hadis tersebut
menyangkut bacaan yang dibaca) yang boleh diikuti dan diamalkan, dan mana saja
diantaranya yang dipilih, memenuhi syarat bagi sahnya ibadah tersbut.
Jika seseorang
ingin mengambil hadis tanawwu al-Ibadah maka hal yang harus dilakukan
adalah mengambil redaksi yang paling lengkap, seperti hadis mengenai basihan wudhu
pada anggota badan, masing-masingnya satu kali riwayat ini menurut ibnu abbas,
dan sempurnanya adalah membasuhnya tiga kali, tigakali ini berdasarkan hadis
Usman.[11]
[3] Muhammad ‘Ajaj Al-Khattib, ter, Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, cet. 4, Ushul Al-Hadis ,(Jakarta: Gaya media Pratama, 2007), hal. Hal. 254
[6] Ajjaj Al-khattib, Ushul Hadis…, hal. 254-256
[7] Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I
Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Disertasi, (IAIN Syarif
Hidayatullah,, Jakarta : 1990), hal. 151
[8] Edi Safr, Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif…, hal,
188.
[9] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif
[10] Edi safri, Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif…, hal. 197
[11] Edi safri, Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif…, hal. 206
tulisan/postingan yang menarik,, sambil cari referensi jga, numpan berkunjung ya,, dengan senang hati jika ada waktu ke .
BalasHapushttp://www.avatarzaharuddin.top/search/label/KAEDAH%20AL-JARH%20WA%20AL-TA%27DIL
http://www.avatarzaharuddin.top/2015/02/kaedah-al-jarh-wa-al-tadil-serta.html
Hapusterima kasih telah mengunjunginya. insyaallah
Hapusmohon maaf apa masih ada/punya buku/desertasi Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Disertasi, (IAIN Syarif Hidayatullah,, Jakarta : 1990)?
BalasHapuskami tdk ada bukunya kawan
BalasHapus