P E N D A H U L U A N
Liqa’
dan mu’asharah dalam periwayatan hadits oleh para ulama hadits dijadikan syarat
untuk mengetahui kualitas sanad suatu hadits. Khususnya dalam hadits mu‘an’an
dan muannan oleh ahli hadits kedua persyaratan ini digunakan untuk menentukan
bersambung-tidaknya sanad hadits tersebut kepada Rasulullah saw. sehingga dapat
dikatakan sebagai hadits yang shahih.
Sanad
hadits yang tidak memenuhi kedua syarat ini, terutama persyaratan mu’asharah, maka
hadits tersebut akan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah. Kemudian apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan liqa’ dan mu’asharah
itu sendiri?
P E M B A H A S A N
A. Hadits Mu’an’an dan Hadits
Muannan
Dalam ilmu musthalahul hadits,
dikenal istilah hadits mu’an’an (مُعَنْعَن) dan hadits muannan (مُؤَنَّن).
Mu’an’an adalah suatu metode meriwayatkan hadits dengan menggunakan kata ‘an
(dari), seperti ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, tanpa
menyebutkan kata-kata yang jelas dan meyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar,
menceritakan, atau mengabarkan dari rawi sebelumnya, namun disyaratkan harus
tetap dengan menyebut nama rawi-rawinya[1]. Jadi
hadits mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan
menggunakan kata ‘an (عن) atau
الحَدِيْثُ المُعَنْعَنُ هُوَ الاِسْنَادُ الَّذِى فِيْهِ فُلاَنٌ عَنْ
فُلاَنٍ
Hadits Mu’an’an
ialah hadits yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan adanya kalimat Fulan
dari Fulan.[2]
Contohnya seperti
hadist yang dikeluarkan Imam Bukhari melalui Ismail berikut ini:
حَدَثَنِى مَالِك عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حَمِيْدِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ
عَنِ ابْنِ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وًاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Adapun hadist muannan adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi dengan menggunakan kalimat Haddatsanaa fulaanun anna
fulaanan qaala… (fulan telah bercerita kepadaku bahwasanya si fulan
berkata….)[3]. Atau
…الحَدِيْثُ المُؤَنَّنُ هُوَ مَا يُقَالُ فِى سَنَدِهِ حَدّثَ
فُلاَنٌ اَنَّ فُلَانًا حَدَّثَنَا بِكَذَا
Hadits Muannan
adalah hadits yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan ucapan Fulan
menceritakan hadits kepadaku, sesungguhnya ia menceritakan hadits demikian
.............
Contohnya :
حَدَثَنَا عُثْماَنُ ابْنُ اَبِى شَيْبَةَ حَدَثَنَا مُعَاوِيَةُ ابْنُ هِشَامِ
حَدَثَنَا اُسَامَةُ ابْنُ زَيْدِ عَنْ عُثْمَانِ ابْنِ عُرْوَةَ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ
اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يصلون علي ميا من الصفوف (رواه ابن ماجه)
B. Persyaratan Mu’asharah dan Liqa’
Ulama’ ahli hadits berkomentar bahwa
hadits yang dalam periwayatannya menggunakan cara seperti hadits mu’an’an dan
muannan, bisa berstatus sama dengan hadits muttasil[4] dengan adanya dua
syarat, yaitu[5]
:
1) Isytirathul Mu’asharah (اشتراط
المعا صرة)
Masing-masing
perawi harus hidup segenerasi dengan perawi yang menyampaikan hadits kepadanya.
Maksudnya setiap tingkatan perawi harus pernah hidup dalam satu kurun waktu
dengan tingkatan perawi di atasnya.
Suatu
hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari tingkat tabi’in, harus
diteliti terlebih dahulu apakah beliau pernah hidup semasa dengan sahabat yang
dirawikan hadits tersebut kepadanya, demikian pula perawi dari tingkat di
bawahnya. Untuk itu, kita harus melihat biografi para perawi tersebut terlebih
dahulu.
Sebagai
contoh, misalkan Sa’id Al-Musayyab perawi dari tingkat tabi’in meriwayatkan
hadits dari Abu Hurairah seorang perawi dari tingkat sahabat. Setelah diteliti,
Sa’id Al-Musayyab hidup pada tahun 13 H – 94 H dan adapun Abu Hurairah wafat
pada tahun 57 H. Dari itu maka dapat diketahui bahwa kedua perawi tersebut
pernah hidup semasa, yakni di antara tahun 13 H – 57 H.
2) Isytirathul
liqa’ (اشتراط اللقاء)
Selain
para perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu yang sama, masing-masing perawi
harus benar-benar pernah bertemu dengan perawi yang menyampaikan hadist
kepadanya.
Hal ini
pun perlu diteliti kembali melalui riwayat hidup para perawinya, apakah
masing-masing tingkatan para perawi tersebut pernah bertemu atau tidak. Jika
setelah diteliti dan ternya kenyataannya bahwa tidak semua perawi itu pernah
bertemu, maka menurut Imam Bukhari hadits itu dianggap cacat dan tidak dapat
diterima untuk dijadikan sebagai hujjah.
Persyaratan mu’asharah dan liqa’
dalam periwayatan hadits sangat berkaitan dengan ilmu rijalul hadits, yaitu
suatu cabang ilmu hadits yang mempelajari keadaan setiap perawi hadits, dari
segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri
dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan
sejarah perawi dan keadaan mereka.
Oleh
ulama hadits, salah satu alasan mereka lebih mengutamakan keshahihan kitab Imam
Bukhari dibandingkan kitab Imam Muslim ialah Imam Bukhari mensyaratkan kedua
persyaratan di atas dalam menyeleksi hadits-hadits di dalam kitabnya, adapun
Imam Muslim mencukupkan pada syarat mu’asharahnya saja.[6]
C. Beberapa Kitab Biografi Para Perawi Hadits[7]
Para ulama hadits telah membukukan
riwayat hidup perawi-perawi mulai dari tingkat sahabat sampai para pentakhrij
hadits, di antaranya:
1. Kitab yang berkaitan khusus dengan sahabat:
a) Kitab Ma’rifat
Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah
Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
b) Al-Isti’ab
fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan
nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak
berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.
c) Ushuudul-Ghabah
fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir
Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
d) Al-Ishaabah
fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad
bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat
tahun 852 H)
2.
Kitab yang
disusun berdasarkan tingkat perawi, termasuk sahabat,tabi’in, dan tabi’
tabi’in:
a) Kitab
Ath-Thabaqat,
karya Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim
telahmenyebutkannya dalam kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad,
juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak
menukil dari kitab tersebut.
b) Kitab
Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid.
c) Kitab
Thabaqat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat
tahun 353 H).
BAB III
K E S I M P U L A N
1. Suatu hadits Mu’an’an dan muannan dapat
dikatakan setingkat dengan hadits muttasil yaitu apabila memenuhi syarat mu’asharah
dan liqa’.
2. Mua’syarah ialah setiap tingkatan perawi pernah hidup
dalam satu kurun waktu dengan tingkatan perawi di atasnya.
3. Liqa’ ialah setiap tingkatan perawi
pernah bertemu dengan tingkatan perawi di atasnya.
4. Imam Bukhari dalam kitab shahihnya mensyaratkan kedua
syarat tersebut, adapun Imam muslim mencukupkannya pada persyaratan mu’asharah
saja.
5. Apabila suatu hadits memenuhi syarat mu’asharah
dan liqa’ dalam periwayatannya, maka hadits itu dapat diterima dan dijadikan
hujjah. Jika tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka hadits tersebut
dianggap cacat dan tertolak.
6. Apakah seorang perawi pernah hidup semasa atau bertemu
dengan perawi pada tingkatan di atasnya dapat diketahui dengan mempelajari ilmu
rijalul hadits, yakni ilmu yang mempelajari mengenai sejarah dan keadaan para
perawi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Maliki, Prof. Dr. Muhammad Alawi.
2009. Al-Manhalu Al-lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi
Asy-Syariif : Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2. Al-Khattan, Manna’ Khalil. 2004. Mabahits fi Ulumil Hadits (Pengantar Studi Ilmu Hadits). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
5. http://alatsari.wordpress.com/2007/11/05/ilmu-musthalah-hadits-bag-16/.
Diakses pada tanggal 23 November 2010.
[7] http://alatsari.wordpress.com/2007/11/05/ilmu-musthalah-hadits-bag-16/. Diakses pada
tanggal 23 November 2010
Tidak ada komentar: