» » Studi Ilmu Hadits


I. Pendahuluan
Kaum muslimin meyakini bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaannya merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Secara historis perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Qur`an.  Jika  Al-Qur`an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadits. Jika al-Qur`an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian dengan hadits.
Berita tentang perilaku Nabi Muhammad Saw baik berupa sabda, perbuatan maupun sikapnya didapat dari seorang sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan kepada  sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan.  Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi’in ( satu generasi di bawah sahabat). Berita tersebut disampaikanlagi kepada murid-muridnya dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadits ( mudawwin). Pada masa Nabi masih hidup, hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan segala sesuatu. Walapun pada kenyataannya ada beberapa sahabat yang menuliskan hadits karena mendapat restu dari Nabi sendiri. 
Keaneka ragaman dalam penguasan hadits Nabi yang dimiliki sahabat disebabkan tidak semua sahabat bergaul dengan Nabi setiap waktu, ada yang beberapa kali saja ketemu Nabi, demikian pula ketelitiannya, namun di antara para sahabat sering bertukar berita sehingga perilaku Nabi Muhammad Saw banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan para sahabat bahkan umat Islam pada umumnya. Dengan demikian pelaksanaan al-Hadits di kalangan umat Islam pada saat itu masih berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Hadits yang telah diamalkan/ ditaati oleh umat Islam di masa Nabi masih hidup oleh para ahli hadits disebut Sunnah Muttaba’ah Marfu’ah dan itulah kekuatan sebenar-benarnya hadits.
Adapun  sahabat dalam  meriwayatkan hadits pada umumnya terdapat dua cara penyampaian yaitu:
a.       Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad Saw.
b.      Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya. Cara kedua ini menimbulkan berbagai macam lafal matan hadits, tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini membuka kesempatan kepada sahabat yang dekat dengan Rasulullah Saw untuk mengembangkan hadits, walaupun mereka tersebar ke kota-kota lain.[1]http://jorjoran.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif?m=1207340914g
Sedangkan lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits dan derajatnya diungkap Ash-Shidieqi sebagai berikut:
a.    Derajat pertama yang paling kuat, seorang sahabat berkata,” Sami’tu Rasulallah yaqulu…, atau akhbarani…,haddasani…,atau syafahani…”
b.    Derajat kedua, seorang sahabat berkata bersabda, mengabarkan atau menceritakan Rasulullah begini…”
c.  Derajat ketiga, seorang sahabat berkata,”Rasulullah menyuruh, atau mencegah begini…
d. Derajat keempat, seorang sahabat berkata,” Kami diperintahkan, atau dilarang begini…
e.  Derajat kelima, seorang sahabat berkata,” kami para sahabat berbuat begini…”[2]
Tradisi penulisan hadits sudah ada sejak masa Nabi, namun ada kemungkinan bahwa sebagian hadits belum tercatat pada saat itu, dan baru tercatat pada masa sesudahnya. Bahkan ada kemungkinan juga ada aspek-aspek kehidupan Nabi yang tidak sempat direkam sampai saat ini oleh para sahabat. Dengan demikian fase ini merupakan fase dimana penulisan hadits belum menjadi praktek yang merata. Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq   yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99 – 101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah Saw. Walaupun kodifikasi hadis secara resmi baru dilakukan pada satu abad setelah Rasulullah, tepatnya pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz bukan berarti penulisan al-Hadis belum ada  sebelumnya. Hal ini dapat kita telusuri beberapa karya tulisan para sahabat dan tabi’in sudah ada sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa otentisitas hadis dapat dipertanggungjawabkan dan tidak mungkin hadits dapat sampai kepada tabi’ut tabi’in tanpa melalui proses yang terjadi sebelumnya. Tulisan hadis pada masa sahabat dan tabi’in ini masih dituliskan belum secara resmi berupa shahifah, seperti shahifah ash-shadiqah milik Abdullah bin Umar bin Ash dan shahifah  milik Jabir bin Abdillah al-Anshari, dan shahifah ash-shahihah miliki Hamam bin Munabih.[3]Waktu yang relatif jauh antara masa Nabi dengan tadwin al-Hadits secara resmi timbullah berbagai problematika hadits baik dari sisi otentisitas, periwayatan, sampai kepada pemilihan dan penganalisaan hadits di kalangan ahli hadits. Sehingga timbul dan berkembanglah ilmu-ilmu hadits untuk menentukan hadits ini bisa dijadikan sebagai dasar tasyri’ atau tidak. Begitu pula dengan perjalanan waktu yang semakin kompleks dan membutuhkan spesialisasi pokok bahasan agar mudah dipahami, maka akan berkembanglah kitab-kitab hadits sesuai dengan pokok bahasan, misalnya hadis fiqh dan sebagainya.
Dengan berbagai problematika hadits maka berkembanglah kitab-kitab hadits, ada yang disebut kitab shahih, kitab sunan, kitab musnad, kitab syarakh, kitab mukhtashar ataupun kitab-kitab sejenisnya yang dijadikan rujukan dalam dasar tasyri’. Maka timbul permasalahan bagaimana proses lahirnya kitab-kitab hadits dan bagaimana sebagai umat Islam mensikapi dan menerapkan hadits dalam kehidupan sehari-hari?
II. Pokok Bahasan
A. Pengertian Tadwin Al Hadits
Secara bahasa, kata Tadwin (التدوين) bermakna (المتشتت في ديوان) artinya : ”mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada suatu diwaan. ”Dalam kamus Al Bisri, tadwin merupakan bentuk masdar dari   دوّن yang berarti menulis dan mencatat.[4] Dan “diwaan” (الديوان) adalah kumpulan kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya diw︢︢aan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar.[5]Adapun “tadwin As-Sunnah” (تدوين السنة), maknanya adalah penulisan riwayat-riwayat hadits nabawy pada kumpulan lembaran atau buku (kitab).
Al-Hadits merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah Saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah Saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul Saw adalah al-Hadits. Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan al-Hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah.  Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah Saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut.
Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.  Demikian pula Rasulullah Saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya;
نضر الله امرا سمع مني مقالتي فحفظها ووعها كما سمع فرب مبلغ اوعى من سامع (رواه ابو داود والترمذي)
“Mudah-mudahan Allah mengindahkanseseorang yang mendengar ucapanku lalu dihafalkan , serta difahami dan disampaikan kepada orang lain, persis sebagai yang didengarnya, karena banyak sekali orang yang kepadanya berita disampaikan lebih faham dari orang yang mendengarnya sendiri ”( HR. Abu Dawud dan Turmudzi).[6]
Beberapa alasan belum dituliskan hadits  secara merata pada masa Nabi adalah sebagai berikut:
1)   Tradisi keilmuan dalam baca tulis belum  menjadi praktek merata, masih dalam tahap upaya perkembangan.
2)   Ada kekhawatiran tulisan hadits bercampur dengan Al Quran
3)   Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadits saja
4)   Khawatir dalam meriwayatkan hadits salah dan tidak sesuai dengan yang disampaikan.
Menurut  Endang Sutari, alasan hadits belum banyak dituliskan  secara resmi adalah agar para  sahabat tidak memalingkan perhatian umat terhadap Al Quran dan para sahabat sudah menyebar sehingga mengalami kesulitan dalam menulis hadits.[7]
Penulisan hadits secara tidak resmi sudah ada sejak jaman Rasulullah, hal ini dapat kita teliti dan analisa dari beberapa hadis yang berisi izin Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pencatatan hadits :
1.    Tentang adanya pencatatan ini Imam Ahmad dan Baehaqi telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:
ما من احد من اصحاب النبي صلى الله عليه وسلم اكثر حديثا عنه مني الا ما كان عند عبدالله بن عمر بن العاص فانه كان  يكتب ولا انا اكتب
“Tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”.[8]
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau  menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah Saw, bahkan Beliau memerintahkannya sebagaimana riwayat dari Ibnu Amr berikut:
قال عبد الله بن عمروبن العاص رضي الله عنهما كنت اكتب كل شيء اسمعه من رسول الله صلعم اريد حفظه فنهتني قريش و قالوا : تكتب كل شيء سمعته عن رسو ل الله صلعم , ورسول الله صلعم بشر يتكلم فى الغضب والرضا فامسكت عن الكتابة فذكرت ذلك لرسول الله  صلعم فاوما باصبعه الى فيه وقال :اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه الا حق
Berkata Abdullah bin Amr bin Ash –radhiyallahu ‘anhuma-, “Saya pernah menulis segala apa yang saya dengar dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, saya ingin menghafalkannya,lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata, “Engkau menulis segala apa yang engkau dengarkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedangkan ia manusia biasa yang bisa berbicara dalam keadaan marah dan ridha?” Lalu saya menghentikan menulis, lalu saya sampaikaan itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau member isyarat dengan jarinya kemulutnya dan berkata,  “Tulislah! Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya tidak keluar darinya kecuali yang haq”(Riwayat Imam Ahmad, Ad darimi, Abu Daud, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil-‘ilm dan Al Khatib dalam At Taqyiid dari banyak jalan). [9]
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: “Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth”, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah Saw.
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain shahifah Ali bin Abi Thalib  tentang hukum diyat, shahifah Anas bin Malik, serta tulisan-tulisan berupa surat yang dikirimkan baik kepada umat Islam ataupun para pejabat tentang seruan dakwah dan pemberitahuan.[10]
2.    Berkata Abu Hurairah, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah pada Fathu Makkah, lalu berdiri seorang dari Yaman yang bernama Abu Syah dan berkata, ”Ya Rasulullah saya minta dituliskan (perkataanmu). Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
اكتبوا لأبي شاه
Tuliskanlah untuk Abu Syah”.(HR.Imam Bukhari, Imam Ahmad dan lain-lain.Imam Abdullah bin Ahmad dan mengatakan tidak ada riwayat yang paling shahih mengenai bolehnya menulis hadits selain hadits ini).[11]
3.    Berkata Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- ,”Ketika sakit Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- semakin parah beliau bersabda:
ايتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده
Ambilkan aku kitab!aku akan tuliskan untuk kamu suatu tulisan yang kamu sekalian tidak akan sesat setelahnya”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain)[12]http://jorjoran.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif?m=1207340914g
Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang shahih berkenaan dengan dibolehkan (oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) menulis hadits. Di samping itu ada juga riwayat-riwayat yang lemah, yang sebagiannya dapat naik menjadi hasan.
Selain hadits yang membolehkan menulis hadits ditemukan juga hadits yang melarang untuk mencatatnya, sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al Khudri:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القران فليمحه  ( رواه مسلم )
Rasulullah Saw bersabda,” Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku. Dan barang siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya” ( HR. Muslim).[13]
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Qur’an, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.[14]
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat seorang pakar Hadits kontemporer yaitu Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami  yang berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Qur’an dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Qur’an. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah Saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Qur’an.[15]
Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku.  Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Qur’an karena merasa cukup dengan apa yang  mereka tulis.
B. Proses Tadwinal-Hadits
Proses tadwiin al-Hadits atau kodifikasi hadits atau yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah  tahun 99 – 101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits  yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Usaha ini  dimulai ketika pemerintahan   Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( khalifah ke depalan dari Bani Umayah) melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghapalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibnu Amar  Hazm ( gubernur Madinah) seperti di bawah ini.
انظروا ما كان  من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبوه فاني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبل الا حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم و تفشوا العلم وتجلسوا حتى يعلم من لا يعلم فان العلم لا يهلق حتى يكون سترا
Artinya,” Lihat dan periksalah  apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah lalu tulislah! Karena Aku takut lenyapilmu karena meninggalnya ulama . Dan jangan anda  terima kecuali hadits Rasulullah Saw dan sebarkanlah ilmu (hadits) dan adakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak  mengetahui dapat mengetahuinya lantaran tidak  lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia”. (Riwayat al- Darimi).[16]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan  hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’d bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H), seorang ahli fiqh murid ‘Aisyah dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, seorang pemuka tabi’in dan fuqaha di Madinah.[17]
Ada beberapa alasan dilakukan tadwin al Hadits pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz sebagaimana ditulis Fatchur Rahman, sebagai berikut:
1)      Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan al Hadits hilang dan lenyap.
2)      Kemauan yang keras untuk membersiahkan dan memelihara al Hadits dari hadits-hadits Maudlu’ karena perbedaan ideology politik.
3)      Telah hilangnya kekhawatiran bercampurnya bercampur aduknya hadits dengan Al Quran, karena Al Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf jauh sebelumnya.
4)      Dibayang-banyangi oleh konfrontasi antar umat Islam dan non Islam yang kian menjadi yang menyebabkan ahli hadits semakin berkurang.[18]
Sedangkan menurut Endang Soetari, hal-hal yang mendorong timbulnya pentadwinan hadits secara resmi sebagai berikut:
1)      Pada akhir abad I Hijriyah, para penghafal hadits semakin berkurang karena banyak yang sudah meninggal dunia baik akibat sudah tua atau karena gugur di medan perang.
2)      Periwayatan secara lisan dengan mengandalkan hafalan dan ingatan dalam keseragaman lafaz dan makna tidak bisa berlangsung lama.
3)      Mulai tahun 40  H periwayatan hadits dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan hadits yang dilakukan orang-orang kafir, munafik dan zindiq yang terjadi di kalangan umat Islam.
4)      Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-Qur`an dan Hadits.
5)      Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luas  scope pengenalan umat dan pertemuan peradaban antara Islam dengan Negari yang dikuasi Islam.
6)      Pada umar Islam sudah tersedia potensi atau  sarana keperluan penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadits  yakni berkembang luasnya tulis baca dikalangan bangsa Arab.[19]
Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya.  Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau.
Menurut para ulama hadits-hadits yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang lengkap, sedangkan hadits-hadits yang dihimpun Ibnu Shihab Az-Zuhri dipandang lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang.
Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata penulisan al-Hadits. Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah Saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi.
Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits. Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Tetapi amat disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya.[20]
Dalam bukunya ‘Studies In Early Hadith Literature’ yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul ‘Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya’, M M. Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah Saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’inkecil dan tabi’ tabi’in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan putra dari Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu’aib.[21]
Lebih lengkap lagi, M.M Azami membahas penyebaran Hadis dalam satu bab yaitu Bab V dengan melengkapi data-data  sebagai bukti bahwa penulisan hadis ada sejak zaman Rasulullah masih hidup dan tidak menafikan penyebaran hadis melalui lisan atau kekuatan hafalan. Hal ini untuk menjawab dan membantah bahwa penulisan hadis pertama adalah Ibnu Shihab Az Zuhri yang menimbulkan keraguan terhadap otentisitas al Hadits.[22]
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagaimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta’dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.
Begitu pula ulama-ulama setelahnya mengikuti jejak Imam Bukhari, seperti Imam Muslim, Turmudzi, An-Nasai, Ibnu Hibban, Daruqutni dan sebagainya dengan cara mencari hadis di berbagai kawasan Islam dan menjadi murid tinggal besama dengan guru sebagai sumber hadis baik dalam waktu lama maupun sebentar. Selain berguru mereka juga meneliti hadis dari berbagai kitab yang ada pada saat itu, serta melakukan seleksi terhadap hadis-hadis yang ada, seperti yang dilakukan Imam Bukhari dan Muslim dengan menggunakan kriteria keshahihan suatu hadits sehingga karya hadisnya dikenal dengan Kitab Shahih Bukhari dan Kitab Shahih Muslim.
C. PERIODISASI TADWIN HADITS
Penyusunan hadits dari masa ke masa mengalami perkembangan yang signifikan. Pada masa awalnya penulisan hadits bercampur dengan perkataan-perkataan sahabat dan tabiín seperti yang ditemukan dalam Kitab Al Muwatha karangan Imam Malik. Pada masa kedua, setelah hadits-hadits dipisahkan dari selainnya, maka disusunlah musnad-musnad seperti Musnad Ahmad bin Hambal. Pada masa ketiga yaitu memandang hadits sebagai kekayaan besar dan membuka pintu ikhtiar. Kitab pada masa ini terkenal kutub as-sittah seperti kitab Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Turmudzi, Ibnu Majah, dan An Nasai. Pada masa selanjutnya membahas perawi hadits dari kalangan tabiín dan sesudah mereka dengan sifat-sifat dhabit, itqan, adil, atau lawan-lawannya yang dikenal dengan jarh wa ta’dil. Barang siapa yang dita’dilkan maka riwayat mereka diterima, sedangkan bila dijarh maka haditsnya ditinggalkan.[23]
Periodisasi dalam tadwin hadis, para ulama hadis berbeda kriteria, ada yang membagi 7 periode dengan rincian: periode masa Rasulullah, periode sahabat besar, periode sahabat kecil dan tabi’in besar,periode daulah Amawiyah, periode  Daulah Abbasyiah, periode Daulah Abbasiah kedua, dan periode sesudah daulah Abbasiah. Ada juga yang membagi kepada 5 periode yang dirumuskan Abd Aziz al-Khuli, yaitu periode pemeliharaan hadis dalam hafalan ( abad I ), periode tadwin hadis yang masih bercampur antara hadis dengan fatwa sahabat (abad II), periode tadwin yang memisahkan hadis dengan fatwa sahabat, periode seleksi hadis, dan periode pensistimatisasian hadits pada abad IV Hijriyah. Dan ada juga yang membagi 3 periode besar ditinjau dari aktivitas pentadwinan hadits secara resmi yang dimulai pada tahun 101 Hijriyah yang dituliskan Muhammad Ajaj Khatib yang ditulis Endang Soetari, yaitu periode Qabla Tadwin: sejak masa Nabi sampai tahun 101 Hijriyah, sebelum tadwin hadits secara resmi, periode inda al-Tadwin: sejak tahun 101 sampai abad III Hijriyah selama aktivitas tadwin secara resmi, dan periode ba’da al-Tadwin, sejak abad IV Hijriyah sampai masa-masa selanjutnya setelah hadits terkoleksi dalam kitab atau diwan hadits.[24]
Perbedaan dalam periodisasi ini hanyalah dalam sudut pandang pembagian masa dan kejadian yang ada pada saat itu, akan tetapi setelah dianalisa pada prinsipnya sama. Pemakalah dalam hal ini lebih setuju dengan pembagian periode menurut Muhammad Ajaj al –Khatib dengan tadwin sebagai patokannya yang membedakan dalam periodisasi hadis.
1. Periode Qobla Tadwin.
Periode ini mencakup masa kehidupan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, masa sahabat sepeninggal beliau dan masa tabi’in ( sampai dengan tahun 100 Hijriyah). Usaha dan perjuangan yang dilakukan sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah pondasi awal dalam pencatatan Sunnah serta upaya penghafalan dan periwayatannya/panyampaiannya kepada ummat ini, sebagaimana usaha dan perjuangan mereka adalah pondasi dalam penyebaran din al-Islam dan pengokohan aqidah dan penjagaan Sunnah dari segala apa saja yang merusaknya.
Pada masa Rasulullah, hadits diperintahkan untuk dihafal dan ditablighkan dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tetapi tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi. Sedangkan penulisan secara pribadi dapat ditemukan di beberapa sahabat seperti Abdullah bin Umar al-Ash, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, serta tulisan dalam penyelengaran dakwah dan pembinaan umat berupa pengiriman surat-surat seruan dan pemberitahuan serta ajakan kepada para pejabat di kala itu.[25]
Pada masa sahabat hadis tidak dituliskan secara resmi dengan pertimbangan  agar tidak memalingkan perhatian terhadap al-Quran dan para sahabat sudah menyebar ke berbagai wilayah Islam yang semakin luas yang mengakibatkan kesulitan dalam penulisan hadis. Yang dilakukan lebih kepada pengamalan hadis, menyedikitkan riwayat hadis sesuai kebutuhan primer dalam pengajaran, meneliti hadis dari perawinya, serta  melarang periwayatan hadis yang belum dapat dipahami umum.[26]
Di antara upaya-upaya sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hal Tadwin sunnah adalah sebagai berikut:
a.    Motivasi dalam menghafal dan menguatkan hafalan, bahkan banyak di antara mereka yang menyuruh murid-muridnya untuk menulis dalam rangka menguatkan hafalannya lalu menghapus kembali tulisan itu agar tidak menjadi patokan/sandaran.
b.    Menulis Sunnah dan mengirimkannya kepada orang lain.
c.    Menganjurkan kepada murid-murid mereka untuk menulis/mencatat hadits.
d.   Mencatat dan mengumpulkan hadits dalam diiwaan (lembaran-lembaran).
Setelah masa sahabat datanglah generasi tabi’in yang memawarisi Sunnah. Bahkan, disini secara keseluruhan dari sahabat dan mereka tampil dengan mengemban amanah penyampaian risalah kepada seluruh manusia. Mereka telah memaksimalkan usaha mereka dalam rangka ta’zhim dan khidmat terhadap Sunnah dalam berbagai bentuk dan upaya perlawatan dalam pencarian hadis. Sahabat kecil dan tabi’in besar untuk mengetahui hadis melakukan perlawatan dan berangkat mencari hadis , menanyakan dan belajar kepada sahabat besar  yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islam. Sehinggalahirlah berbagai pusat kajian hadis seperti di Madinah, Mekkah, kuffah, Basrah, Syam, dam  Mesir.[27]
Maka secara garis besar di antara usaha besar dan kerja keras mereka khusus untuk tadwin sunnah adalah sebagai berikut:
a.    Menganjurkan untuk iltizam kepada Sunnah, menghafal dan menulisnya, serta tatsabbut dalam meriwayatkan dan mendengarkannya.
b.    Mencatat Sunnah dalam lembaran-lembaran.
c.    Usaha-usaha yang besar dari dua imam kaum muslimin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az Zuhri, dalam tadwin sunnah.
2. Periode Inda al-Tadwin
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriyah, yakni tahun 99 Hijriyah, mendukung kelestarian hadits. Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari para  perawinya, mungkin hadits itu akan lenyapnya  dari para penghapalnya. Khalifah Umar bin Abdu bin Aziz memerintahkan guberbur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk membukukan hadits-hadits Nabi dari para penghafal. Selain kepada  gubernur, dia pun menulis surat kepada Muhamad bin Muslim bin Ubaidillah bin Shihab Az Zuhri ( 15-124 H ) untuk melaksanakan pembukuan hadits dan Muhammad bin Muslim sebagai ulama pertama yang membukukan hadits.[28]
Setelah generasi Az- Zuhri, pembukuan dilanjutkan oleh ibnu Juraij ( w. 150 H), Ar Rabi’ bin Shabih ( w.160H). Pembukuan hadits dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayah, tetapi belum sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu pada  pertengahan abad ke II Hijriyah dilakukan upaya penyempurnaan. Kitab yang terkenal pada waktu itu yang masih ada hingga sekarang adalah Al Muwatha yang ditulis Imam Malik dan Al Musnad oleh Imam Syafi’i (w.204 H). Pembukuan hadits itu kemudian dilanjutkan secara teliti oleh imam-imam ahli hadits seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi,  Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain. [29]
Periode ini dipandang sebagai masa pengokohan ilmu-ilmu Sunnah, di masa ini hidup tokoh-tokoh besar Sunnah, para imam yang mulia: Malik, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, al-Auzai’Ii Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu Mubarak, Ibrahim Al Fazari, Ibnu Uyainah, Yahya bin Said al Qaththan, Ibnu Mahdi, Waki’ dan lain-lain.
Pada masa ini juga terjadi  seleksi hadits atau penyaringan hadits ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasyiah, khususnya sejak masa Khalifah Al Makmun sampai dengan Al Muktadir ( 201-300H). Periode seleksi ini terjadi karena pada periode sebelumnya tadwin hadits di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz , para ulama belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf, dan maqthu’ dari hadits marfu’, begitu pula halnya dengan memisahkan beberapa hadits yang dlaif dari hadits sahih, bahkan masih hadits maudhu’ yang tercampur pada hadits sahih. [30]
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Melalui kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dla’if dan sahih dan hadits-hadits mauquf dan yang maqthu dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadits dla’if pada kitab-kitab sahih karya mereka. [31]
Untuk lebih jelasnya Periode Inda  al-Tadwin menurut Endang Soetari, dibagi kedalam 3 fase perkembangan:
a)    Fase Tadwin  Pertama para mudawwin hadis memasukkan ke dalam diwannya semua hadis, baik sabda Nabi, maupun fatwa sahabat dan tabi’in. Sehingga meliputi hadits marfu’, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Pada fase ini hanya kitab al-Muwatha Imam Malik yang masih bisa ditemukan, sedangkan yang lainnya tidak sampai kepada masa sekarang.
b)   Fase Tadwin Kedua abad III Hijriyah (masa kualifikasi), para mudawwin hadits memisahkan hadis Nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in , akan tetapi masih mencampurkan hadits shahih,hasan dan dla’if. Sistem penulisan hadits pada fase ini didominasi berdasarkan sanad  ( perawi sahabat), yang mengakibatkan sulit dalam mencari atau mengetahui hukum-hukum syara’ karena tidak berdasarkan tema. Kitab pada fase ini dinamakan al-Musnad, seperti al-Musnad Ubaidilah Ibnu Musa, Musnad Hanafi, Musnad al-Syafi’i, Musnad Abu Dawud, Musnad Ahmad dan sebagainya.
c)    Fase tadwin ketiga, fase seleksi hadis yaitu mudawwin hadits melakukan seleksi terhadap hadis-hadis shahih saja untuk dibukukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh meluasnya hadis palsu di akhir abad II Hijriyah. Pelopor mudawwin dengan seleksi  ini adalah Ishaq Ibnu Rawaih yang diikuti  al-Bukhari, dan  Imam Muslim. Seleksi hadits pada fase ini dilakukan dengan cara meneliti dan membahas perawi hadits dari berbagai segi seperti keadilan, kedlabitan yang diambil dari biografi perawi, dan dengan cara pembuatan kaidah ilmu hadits yang dapat membedakan antara hadits shahih dengan hadits dla’if. Pada fase ini terbitlah beberapa kitab dengan 2 corak, yaitu kitab Shahih yang hanya memasukkan hadis shahih saja seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al Mustadrak Hakim, Shahih Ibnu Hibban, Shahih ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Awanah, dan Shahih Ibnu Jarud. Sedangkan corak lainnya kitab sunan yang penyusunannya tidak memasukan hadis munkar dan sederajat,hadits dla’if yang tidak munkar dan tidak sangat lemah dimasukkan kedalamnya dengan diterangkan kedla’ifannya. Beberapa contoh kitab sunan ini adalah Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan al-Nasa`i, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Damiri, Sunan al-Dailami, Sunan Baihaqi, dan Sunan al-Daruqutni.[32]
Selain kitab-kitab hadis pada fase seleksi hadis tentunya dibutuhkan kitab-kitab pembantu dalam menentukan keshahihan suatu hadis, maka terlahirlah ‘ulum al-hadits, kitab penunjuk dan kitab problema hadits yang melahirkan ilmu jarah wa ta’dil, ilmu rijal al-hadits, ‘ila al-Hadits,Asbab al-Wurud dan sebagainya.[33]
Kitab-kitab Hadits pada periode tadwin hadits ini pada intinya  menurut Ash-Shidieqi dibagi ke dalam tigas jenis kategori sebagai berikut:
o  Kitab Shahih, penyusun menulis kitab hadits berdasarkan hanya hadits-hadits shahih saja.
o  Kitab Sunan ( kecuali Ibnu Majah), penulis memasukan hadits dlaif yang dianggap tidak mungkar dan tidak sangat lemah dan diterangkan kedlaifannya.
o  Kitab Musnad, segala hal yang berhubunagn dengan hadits ditulisnya. Hadits musnad ini dibagi menjadi dua macam berdasarkan cara penulisannya. Yaitu musnad berdasarkan urutan perawi haditsnya dan Mushanaf beradaskan bab-bab isi hadits.[34]
Periode ini juga  merupakan masa kemajuan ilmu-ilmu keislaman secara umum, dan ilmu-ilmu Sunnah secara khusus,bahkan masa ini dipandang sebagai masa keemasan Sunnah Nabawiyah, yang mana pada masa ini semakin gesit rihlah untuk Tholabil-‘ilm, semakin gencar penulisan kitab dalam ilmu rijal dan semakin luas karya-karya dalam tadwin sunnah.
3. Periode ba’da radwin
Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya. Pada abad IV H, para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III) dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, Ada juga yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan haditst-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab serta adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al-Hadits.
Setelah munculnya kutub As Sittah dan Muwathanya Imam Malik serta Al Musnad Ahmad Ibnu Hambal, para ulama perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab jawami’, kitab syarah mukhtashar,mentahrij, menyusun kitab Athraf, jawaid dan menyusun hadits-hadits berdasarkan topik-topik tertentu seperti yang dilakukan Ibnu Hibban Al Bisri (w.354H),Ibnu Huzaiman (w.311H) dan Al Hakim an-Naisaburi. [35]
Ulama hadits pada masa ba’da al-Tadwin ini dikenal sebagai ulama muta`akhkhirin, karena pada saat itu ulama hadis mencukupkan  periwayatan dengan menukil dan mengutip hadits dari kitab-kitab yang sudah ditadwin pada abad II dan III Hijriyah. Hal ini berbeda dengan ulama-ulama hadis sebelumnya yang dikenal mutaqaddimin, karena mereka menuqil langsung dari penghafal hadits.[36]
Aktivitas ba’da al-Tadwin ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1)   Tadwin Hadits dengan perluasan dan penyempurnaan sistem dan corak:
a)    Tadwin al –hadis dengan amengumpulkan hadi-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kitab-kitab shahih
b)   Tadwin hadits dengan mengumpulkan hadits yang memiliki syarat-syarat salah satunya dan tidak dishahihkan oleh ulama sebelumnya.
c)    Tadwin Istikhraj yakni mengumpulkan hadits-hadits dari suatu kitab.
d)   Tadwin athraf, yaitu dengan menyebut sebagian hadits, kemudian  segala sanad dari beberapa kitab.
e)    Tadwin takhrij hadits yaitu mengumpulkan hadits-hadits dari suatu kitab kemudian dikumpulkan dalam kitab lainnya.
f)    Tadwin dengan menambahkan hadits-hadits  sebelumnya yang dikenal Kitab Zawaid.
g)   Tadwin dengan jami’ atau jawami’ yaitu menggabungkan hadits-hadits yang terdapat dari beberapa kitab hadits.
h)   Tadwin dengan komentar, penafsiran dan pembahasan yang dikenal dengan kitab Syarah.
i)     Tadwin dengan meringkas isi dari kitab-kitab hadits tertentu yang dikenal kitab Mukhtashar.
2)   Penyusunan kitab-kitab hadits secara spesialisasi, yaitu mengkhususkan  ke dalam diwan materi-materi hadits dalam bidang tertentu, misalnya  tadwin hadis hukuk, tadwin hadis targhib, tadwin hadits qudsi, dan tadwin hadis azkar.[37]
Pada periode ini pulalah muncul bentuk baru dalam tadwin sunnah seperti munculnya kitab-kitab mustakhrajat, dan ma’ajim (mu’jam-mu’jam) hadits. Muncul pula pengkodifikasian syarah hadits (fiqhul hadits). Muncul pula pengkodifikasian ilmu mustholah hadits untuk pertama kali dan munculnya karya ulama dalam ilmu ‘ilal al-Hadits. Dalam ilmu jarh wa ta’dil pun terdapat beberapa kitab-kitab terkenal dan merupakan referensi yang ditulis ulama pada masa ini.
Di samping adanya karya-karya para ulama yang mengikuti manhaj para ulama sebelumnya seperti kitab-kitab sunan (hadits-hadits ahkam) dan mustakhrajat. Jenis usaha lain yang semakin menguat pada masa ini adalah pensyarahan terhadap hadits-hadits yang terdapat pada kitab-kitab hadits yang ada. Di antara tokoh-tokoh hadits di masa ini adalah Al Baihaqi, Al Baghawi, Muhammad bin Nashir al Humaidi, Al Khatib Al Baghdadi, Ibnu Abdilbarr dan sebagainya.
Pada periode ini ulama menempuh berbagai bentuk pengkhidmatan terhadap Sunnah melalui buah karya mereka, yang umumnya adalah melanjutkan apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya yang tentunya dengan susunan-susunan yang umumnya lebih baik dari sebelumnya misalnya:
a.    Kitab-kitab maudhu’at.
b.    Kitab-kitab hadits ahkaam.
c.    Kitab-kitab gharibul hadits.
d.    Kitab-kitab athraful hadits.
Pada periode ini  pula para ulama juga melakukan tadwinus sunnah dalam bentuk inayah dan khidmat kepada kitab-kitab salaf (generasi-generasi awal) dengan mensyarahnya, selain itu mereka juga menyusun biografi (tarjamah) para periwayatnya. Di samping itu para ulama di periode ini melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya dan di antara yang paling nampak adalah munculnya kitab-kitab Takhrij dan kitab-kitab Jawami’. Pada periode ini pula sebuah kreasi baru muncul dari kalangan Ulama yaitu adalah kitab-kitab Zawaaid.
Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah. Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya.
Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.
Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya percetakan ke alam islami mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadits, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwin as-sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.
Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah. Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.
D.       Metode Pembukuan Hadits
1.      Metode Masanid: yaitu buku-buku  yang berisi kumpulan hadits setiap sahabat secara tersendiri, baik hadits sahih, hasan atau dhaif. Contoh kitab metode masanid:
a.    Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud At Tayalisi ( w. 204 H ).
b.   Musnad Abu Bakar Abdullah bin Az Zubair Al Humaidi ( w.219)
c.    Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( w. 241 H).
d.   Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amru al Bazzar ( w.292H).
e.    Musnad Abu Ya’la Ahmad bin Ali Al Mutsana  Al Mushili ( w.307 H)
2.      Al Ma’ajim: buku yang berisi kumpulan hadits yang berurutan nama-nama sahabat, guru-guru penyusun, atau negeri sesuai dengan huruf hijaiyah, antara lain:
a.    Al Mu’jam al Kabir dan karya Abu Al Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani (w.360 H).
b.   Al Mu’jam Al Awsath  karya Abu Al Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani
c.    Al Mu’jam Ash-Shogir karya Abu Al Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabarani
d.    Al Mu’jam al Buldan karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali Al Mushili ( w. 307H).
3.      Al Jawami’ : Pengumpulan hadits berdasarkan semua bab pembahasan agama antara lain:
a.    Al Jami’ Al Shahih karya imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari (w.256H).
b.   Al Jami’ Al Shahih karya Imam Abu Al Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi an-Naisaburi (w.261 H)
c.     Al Jami’ Al Shahih karya Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At Tirmidzi ( w.279H).
4.      Penulisan hadits berdasarkan pembahasan Fiqh antara lain: ( Khusus Fiqh)
a.    As-Sunan, contoh Sunan  Abi Dawud,sunan An-Nasai, Sunan Ibnu Majah,Sunan Asy Syafi’i,  Sunan Ad Darimi, Sunan Daruquthni, dan Sunan Al Baehaqi.
b.   Al Mushanafat: sebuah kitab hadits yang disusun bedasarkan urutan bab tentang fiqh. Antara lain: Al Mushanaf karya Abu Bakar Aburrazzak, Al Mushannaf karya Abu Bakar Abdullah bin Abi Syaibah dan Mushannaf karya Baqiyyi bin Mukhallad Al Qurtuibi.
5.      Kitab penyusunan berdasarkan penulisan hadits sahih saja:
a.    Shahih al Bukhari
b.   Shahih Muslim
c.    Al Muwatha karya Imam Malik
d.   Al Mustadrak karya Al Hakim
e.    Shahih Ibnu Khuzaimah,
f.    Shahih Ibnu Hibban
6.      Tematik, antara lain At-Targhib wa at Tarhib karya Zakiyudin Abdul Azhim (w.656 H). dan kitab Az Zuhd karya Ahmad bin Hambal, Kitab Riyadu Shalihin karya Nawawi
7.      Kumpulan Hadits Hukum Fiqh ( kutub Al Ahkam ):contoh Kitab Al Ahkam karya Al Maqdisi, Bulughna Muram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.
8.      Merangkaikan Al Majami’: antara lain kitab Jami’ Ushul min Ahadits ar-Rasul karya Abu As-Sa’dat
9.      Al Ajza, kitab berisi hadits yang berkaiatan dengan satu permasalahan secara terperinci, antara lain Juz`u Ma Rawahu Abu Hanifah ‘an Ash-Shahabah karya At-Thabari.
10.  Al-Athraf,yaitu kitab yang menyebutkan sebagian hadits yang dapat menunjukkan kelanjutan hadits dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya. Contoh kitab Ithaful Maharah bi Athrafil Asyarah karya Ibnu Hajar Asqalani.
11.  Kumpulan hadits masyhur secara lisan dan tematik, kitab membahas hadits-hadits yang mashur di kalangan masyarakat lalu menjelaskan derajat hadits tersebut, contoh kitab  Silsilah Al Ahadits adh Dhaífah karya Nasirudin Al Bani.
12.  Az-Zawaid,karya yang berisi hadits tambahan terhadap hadits yang ada pada sebagian kitab yang lain, contoh Kitab Majma’ Az Zawaid wa Manba al Fawaid karya Al Haitami.[38]
III.            Penutup
Demikianlah makalah ini kami sampaikan dengan segala kemampuan kami mencari dan menganalisa beberapa referensi kitab hadis yang ada. Atas segala kekurangan kami mohon kiranya masukan dan saran untuk perbaikan makalah ini. Jazakallahu khairan katsiran.
DAFTAR PUSTAKA
Abdu Al Ghani Al Khaliq, Dr. , Hujiyatu As Sunnah, Al Wafa.
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari,  Shahih Al Bukhari,  Beirut, Dar Shu’ub,
Adib Bisri, KH. (ed), Kamus Indonesia Arab, Arab Indonesia, Surabaya, 1999, cet-1
Agus  Solahudin, Drs.M.  , M.Ag.,Agus Suyadi,Lc.M.Ag., Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia, cet-1.
Ahmad bin Ali bin Sabit ,Imam Abu Bakar, Al Rihlah fi Thalab Al Hadits,  Beirut, Dar Al Kutub Al Ma’lamah, 1975. Cet-1.
Al Khatib, Dr. Muhammad  ‘Ujaj,  Ushul Al Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, Damaskus, Dar Al Fikr.
Ash Shiddiqie, Prof. Dr. Teungku M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2009, Cet-3.
Awud Sulaiman Ibnu Al ‘Asy’asy al Sijistani Al Azdi,( AbiSunan Abi Dawud,Kairo, Ad Daru Al Misriyah Al Bananiyah, 275 H
Bustamin, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004.
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits, Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004
Fatcur Rahman, Drs., Ikhtisha Musthalahul Hadits, Bandung, PT. Al Ma’arif, 1985. Cet-4, h. 320-336
Khudhari Bek, Syekh Muhammad, Sejarah Hukum Islam, Bandung CV. Nuansa Aulia
Jalaludin Al Suyuthi, Sunan Nasai, Kairo, Dar Al Hadits, 1987, sebagai kitab syarah.
Musthafa  al A’zimi, Dr. Muhamad,  Dirasat Fi Al Hadits an Nabawi wa Tarikh tadwiuh, Beirut, Al Makta al Islamiy, 1992
MM. Azami,  Hadits Nabawi dan sejarah Kodifikasinya, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994
Malik bin Anas, Al Muwatha, Maktabah Taufiqiyah.
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung; Angkasa.
Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993:
Nuruddin Ltr, Manhaj al Naqd fu Ulum al Hadits ( terjemah), Bandung, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994.
Soetari Ad,M.Si., Prof.Dr. H. Endang,  Ilmu Hadits Kajian Riwayat dan Dirayah, Bandung, Mimbar Budaya, 2008, cet-5.
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis, ( Bandung, 2004, Benang Merah Press,
Wajidi Satadi, Dr., Hadits Tarbawi , Jakarta, Pustaka Firdaus, 2009, cet-2.

About Kutaradjablog.spot

Ucapan terimakasih Admin ucapkan kepada para pengunjung yang telah setia berkunjung ke blog ini sampai hari ini. Walaupun tidak semuanya merupakan pengunjung setia ( kebanyakan pendatang baru ) tetap saja Admin merasa bahagia dengan jumlah pageview dan unique visitor yang hadir di blog Ini
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply