» » Tanawwu’ fi Al-ibadah

BAB I
Di antara tugas Nabi Muhammad  saw adalah memberikan penjelasan (baik dalam bentuk ungkapan kata, perbuatan maupun penetapan) terhadap apa yang dipesankan  al-Qur’an. Melalui  perbuatan dan teladannya, Nabi  saw memberikan perincian dan penjelasan tentang ajaran Islam yang dituangkan dalam al-Qur’an dan hadis.
Manhaj yang ditempuh Nabi saw dalam mengemban missinya (risalahnya), antara lain memiliki ciri  kelapangan dan kemudahan. Hal ini telah dijelaskan di banyak tempat. Antara lain penyataan Nabi saw sendiri sebagaimana diriwayatakan Imam Muslim : “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku  sebagai  seseorang yang mempersulit, atau mencari kesalahan orang lain.  Akan tetapi aku diutus  sebagai pengajar dan pembawa kemudahan”.
Dari pernyataan Nabi saw di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam yang disampaikan kepada umat manusia  pasti sesuai dengan kemampuan mereka dan tidak mungkin menimbulkan kesulitan.  Oleh karena itu  jika terdapat pernyataan  ataupun perbuatan  Nabi saw  yang tampak berlawanan atau tidak sejalan satu dengan yang lain, bahkan  mungkin menimbulkan kesan membingungkan, maka boleh jadi sumber  pernyataan tersebut tidak benar-benar berasal dari Nabi saw, atau  mungkin saja pemahaman kita terhadap pernyataan itu kurang tepat.[1]
Di antara hadits Nabi saw yang terkadang tampak tidak sejalan satu dengan yang lain  adalah hadits-hadits tentang tata cara  pelaksanaan  ibadah. Hadits-hadits semacam ini  disebut dengan istilah  “Hadits-hadits tanawu’ al-ibadah”,  yaitu hadits hadits yang menerangkan praktik ibadah tertentu,  yang dikerjakan  Nabi saw, tetapi antara hadits hadits tersebut terdapat perbedaan, sehingga menggambarkan adanya keragaman bentuk peribadatan.[2] Di antara sekian banyak hadis yang menjelaskan tentang keberagaman dalam praktek ibadah adalah tata cara pelaksanaan wudhuk, tata cara pelaksanaan tayamum, tentang keberagaman bacaan dalam rukû dan sujûd.
Oleh sebab itu makalah ini disusun untuk mendiskusikan bagaimana memahami dan menyikapi hadits-hadits tersebut, supaya memperoleh pengertian yang semestinya terkait dengan keragaman hadits tentang tata cara peribadatan(Tanawu’ fil ibadah) yang  bisa menimbulkan kesan adanya perbedaan, dan  bahkan pertentangan antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tanawwu’ fi Al-ibadah      
            Tanawwu’ fi al-ibâdah ialah keberagaman praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[3]
Hadis tanawwu’ al-ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Perbedaan atau keberagaman ajaran yang dimaksudkan adakalanya dalam bentuk tatacara pelaksanaan (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan yang dibaca. Hadis-hadis tanawu’ ini juga disebut sebagai hadis-hadis mukhtalif dalam arti umum..
Adapun Mengenai istilah hadis-hadis tanawu’ al-badah ini adalah hasil  dari upaya Imam al-Syafi’i  dalam menyelesaikan hadits hadits yang dianggap sebagian ulama  sebagai hadits-hadits yang bertentangan atau tidak sejalan.[4] Menurut al-Syafi’i, hadits-hadits yang kelihatan tidak sejalan itu sebenarnya tidak mengandung pertentangan, karena dapat dipertemukan dan dikompromikan satu sama lain.
Imam Syafi’i memberikan sebuah batasan bahwa hadis-hadis yang di golongkan sebagai al ikhtilaf al mubah ini adalah hadis-hadis mukhtalif  yang tidak mengandung hukum-hukum yang berbeda atau berlawanan sehingga salah satunya harus ditinggalkan. Imam Syafi’i berkata:[5]Dua hadis tidak disebut ikhtilaf selama keduanya masih ditemukan jalan untuk sama-sama mengamalkan keduanya. Disebut ikhtilaf jika tidak dapat mengamalkan yang satu tanpa meninggalkan yang lain, seperti hadis dalam kasus yang sama, yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkan.
Jelas terlihat dalam batasan makna yang dikemukakan Imam Syafi’i diatas bahwa dua hadis disebut mukhtalif jika keduanya mengandung makna yang bertentangan, misalnya antara halal dan haram atau makruh dan sunat. Jika ada pertentangan seperti ini, maka hadis-hadis tersebut dapat  dikatakan mukhtalif dan perlu dilakukan penyelesaiaan dengan pendekatan-pendekatan ilmu ikhtilaf al hadis. Selama tidak ada pertentangan seperti itu, hadis-hadis yang tampak ikhtilaf tersebut dikategorikan sebagai hadis al ikhtilaf al mubah, artinya semua hadis tentang ibadah yang beragam ini dapat diamalkan dan tidak perlu dilakukan nasakh atau tarjih.
Merujuk kepada sejarah, begitulah sikap para sahabat, tabi’in serta kalangan mutaqaddimin (masa sebelum akhir abad ketiga) lainnya dalam menyikapi hadis-hadis yang beragam seperti itu. Tidak ditemukan riwayat bahwa mereka bertengkar dalam masalah ibadah ini. Meskipun yang mereka amalkan berbeda, tidak ada diantara mereka yang menyalahkan yang lain atau menyatakan bahwa hadis yang diamalkan orang lain tidak kuat. Akan tetapi, dalam masa selanjutnya muncul kecenderungan sementara orang memilih-milih hadis atau menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ada dua bentuk perselisihan ulama yang harus benar-benar diperhatikan, yaitu:
a.       Mereka sepakat terhadap kebolehan kedua bentuk amal, tetapi mereka berbeda pendapat tentang mana diantara keduanya yang lebih afdhal
b.      Mereka memperselisihkan tentang kebolehan pengamalan dari salah satu dari dua hadis yang diperselisihkan tersebut. Kebanyakan kasus yang mereka perselisihkan itu karena ada sunnah yang berbeda dalam kasus tersebut.
Dalam menghadapi hadis-hadis tanawu’ Al-Ibadah, pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam kategori hadis makbul atau tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada pertentangan atau tidak. Apabila ternyata semua termasuk kategori hadis makbul dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujjahannya untuk diikuti dan diamalkan.
Ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah dipahami sebagai cara atau bentuk-bentuk pelaksanaan (jika hadis-hadis tersebut menyangkut tata cara pelaksanaa), atau macam-macam bentuk bacaan (jika hadis-hadis tersebut menyangkut bacaan yang dibaca), yang boleh diikuti dan diamalkan. Dan mana saja diantaranya yang dipilih, memenuhi syarat bagi sahnya ibadah tersebut.
B.     Contoh-contoh Hadis Tanawwu’ fi Al-ibadah                                                            
1.      Contoh hadis tanawwu’ fi ibadah menyangkut tata cara pelaksanaan wudhu’.
 عَنْ اِبْنُ عَبَّاْسٍ،قَالَ: أَلَا أَخْبِرُكُمْ بِوُضُوءِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَتَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً
Artinya: Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Maukah kalian aku kabarkan tentang cara wudhuk Rasulullah SAW ?Beliau SAW berwudhuk satu kali-satu kali (untuk tiap anggota wudhu’).[6]
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمّنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قاَلَ رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِي اللَّهُم عَنْهُم تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَ ثًا وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَ ثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ هَكَذَا تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللَّهِ لَلَّهُمَّ وَسَلَّمَ.
Artinya: Dari Abdirrahman bin Abu Laila, dia berkata, “saya pernah melihat Ali RA berwudhu, maka dia mencuci mukanya tiga kali,mencuci kedua lengannya tiga kali, dan menyapu kepalanya satu kali, kemudian berkata, “Demikianlah Rasulullah SAW berwudhuk.[7]
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ،أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا،يُسْنِدُ ذَلِكَ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: Dari Abdullah bin Umar bahwa beliau berwudhuk tiga kali-tiga kali. Dia menyandarkan hal itu kepada Rasulullah SAW.[8]
Tiga buah hadis di atas sama-sama menerangkan tata cara berwudhu’ Rasulullah, khususnya dalam membasuh anggota wudhu’nya. Akan tetapi satu dengan yang lainnya mengandungi ajaran yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kesan sebagai tidak adanya ketegasan dalam masalah tersebut.
Cara penyelesainnya di atas adalah semua hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah boleh diikuti dan diamalkan, tetapi yang manakah diantaranya lebih baik “afdhal” untuk diikuti dan diamalkan, jawabannya adalah yang lebih sempurna. Diantarnya, khusus menyangkut hadis-hadis tentang tata cara berwudhu’ Rasulullah, dikatakan oleh Syafi’i bahwa dari ketiga hadis tersebut sebenarnya dapat ditarik suatu ajaran bahwa cara minimal yang dituntut untuk sahnya wudhu’ adalah membasuh anggota wudhu’ masing-masing satu kali (berdasarkan hadis Ibn Abbas), dan sempurnanya, adalah dengan membasuh masing-masing tiga kali (bersasarkan hadis Abdullah bin Umar). Jadi, yang afdhal untuk didahulukan mengamalkan yang lebih sempurna diantaranya sesuai dengan penjelasan diatas  yakni, hadis riwayat Abdullah bin Umar.
Dengan demikian, selanjutnya dapat dikatakan bahwa cara terbaik bagi sesorang dalam berwudhu’ ialah  dengan membasuh anggota wudhu’nya masing-masing tiga kali. Boleh juga memilih masing-masing dua kali. Bahkan dalam situasi tertentu mungkin saja yang dilakukan oleh Rasulullah. Dari keberagaman tersebut ada yang bernilai lebih afdhal dari pada yang lain, patut dimaklumi bahwa keutamaan tersebut sangat tergantung dengan kondisi waktu, tempat, dan kondisi hati orang yang beramal.
Selanjutnya, satu hal yang patut dipahami bahwa dalam masalah ibadah sama dengan masalah agama lainnya, apa yang disebut dengan konstektualitas tetap berlaku. Dari uraian Imam Syafii sebagai contoh terlihat bahwa dalam mengamalkan amalan tertentu dari ibadah yang beragam sangat ditentukan oleh pilihan masing-masing orang. Pilihan ini sendiri ditentukan oleh fadhilah masing-masing amalan yang dilaksanakan, oleh kondisi hati dan faktor keterbatasan manusia.
Mengakhiri penjelasan dari Tanawwu’ fi al-ibadah ini perlu dipertegas bahwa orang awam, karena keterbatasan dan keawamannya, yang terbaik baginya adalah mengamalkan apa yang ia dapat dari gurunya dan apa yang mudah dilaksanakannya. Karena keawamannya itu pula bahwa cara ini lebih afdhal untuknya. Namun, bagi orang yang kurang pemahamannya tentang ilmu ini yaitu mereka yang ibadahnya dilakukan berdasarkan arahan dan bimbingan dari orang lain atau berdasaran kitab petunjuk dalam suatu mazhab, lembaga, atau organisasi sosial keagamaan tertentu tidak terlalu mudah meremehkan apa lagi menyalahkan amaliyah atau perbuatan dari amal orang lain. Sebab, pada tataran ideal, semua keragaman yang hari ini dilihat memiliki dasar dari amaliyyah Rasulullah. Oleh karena ini, melecehkan amalan orang lain sama artinya dengan melecehkan sunnah sendiri.
Banyak manfaatnya jika orang atau pihak yang selama ini mengamalkan satu macam saja dari konsep ibadah. Sebaiknya mulai mempelajari dan mendalami konsep ibadah yang lainnya. Sehingga kesan keterkotakan sosial dalam masyarakat ini dapat diredam.
2.      Contoh hadis mengenai tata cara pelaksanaan tayamum
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيْهِ قَالَ:جَاءَ رَجُلُ الَى عْمَرَبْنِ الخُطاَّ بِ فَقَالَ: اِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ المَاءَ، فَقَالَ عَمَّارُبْنُ ياَسِرٍ لِعُمَرَبْنِ الخَطاَّبِ،أَمَا تَذْكُرُأَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وأَنْتَ،فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّ أَنَا فَتَمَعُّكْتُ فَصَلَّيْتُ،فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيِّ: (اِنَّما كَانَ يكْفِيْكَ هَكَذَا) فَضَرَبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الآَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ.
Artinya: Diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman bin Abza dari ayahnya ia berkata, seorang mendatangi Umar bin Khathtab dan berkata, Aku junub dan tidak menemukan air. Maka Ammar bin Yasir berkata kepada Umar bin khathtab, “Apakah anda  tidak ingat ketika kita dalam suatu perjalanan (saya dan engkau), maka engkau tidak salat, adapun aku berguling-guling ditanah kemudian salat,kemudian aku menyebutkan hal itu kepada Nabi SAW. Maka beliau SAW berkata , Hanya saja cukup bagimu begini , lalu Nabi SAW memukul tanah dengan kedua telapak tangannya dan meniupnya, kemudian mengusap muka dan kedua tangannya dengan keduanya.[9]
Hadis ke dua mengenai tayamum
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ   صلى الله عليه وسلم التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ, وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى اَلْمِرْفَقَيْنِ - رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَصَحَّحَ اَلْأَئِمَّةُ وَقْفَه.

Artinya: Daripada Ibn ‘Umar RA katanya, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tayammum itu dua kali tepuk satu untuk muka dan satu untuk kedua-dua tangan sampai ke siku. (al-Daruqutni. Para imam hadis mengatakan yang sahih adalah mawquf).        
·         Sudut pertentangan 
Hadis ‘Ammar di atas menunjukkan tayammum itu sah dilakukan dengan satu tepukan ke muka dan tangan sampai kepada pergelangan tangan manakala hadis Ibn ‘Umar menyatakan tayammum hendaklah dilakukan dengan dua tepukan satu untuk muka dan satu untuk tangan hingga ke siku.
Ayat al-Qur`an menyebutkan hukum tayammum sangat ringkas (mujmal) dan perlu kepada penjelasan (bayan) .

4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym q`Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ             
Artinya: Dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pejalanan jauh, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu sentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah - debu yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah - debu itu. (Surah al-Ma`idah: 6)
Tangan yang disebutkan dalam ayat di atas boleh ditafsirkan dengan beberapa makna. Pertama, hingga ke pergelangan tangan, kedua, hingga ke siku dan ketiga, hingga ke ketiak. Berdasarkan kepada penggunaan bahasa Arab, ketiga-tiga makna ini boleh dipakai. Walau bagaimana penjelasan daripada Sunnah diperlukan untuk menentukan maksud yang sebenar yang dikehendaki oleh Shara’.
·         Cara Penyelesaiannya 
v  Kaedah tarjih
Jumhur ulama berpendapat bahawa had atau kadar tayammum ialah menyapu muka dan tangan hingga ke siku. Mereka mentarjihkan hadis Ibn ‘Umar kerana ianya dikuatkan dengan qiyas iaitu diqiyaskan tayammum dengan wudu`. Al-Sarakhsi berkata, tayammum merupakan badal (ganti) kepada wudu` dan wudu` pula sama ke siku maka demikian juga tayammum. Tegasnya, dua anggota telah gugur sama sekali pada tayammum dan tinggal dua anggota sahaja, maka tayammum padanya itu seperti wudu` pada keseluruhan sebagaimana sembahyang pada ketika safar gugur darinya dua raka’at maka yang baki darinya kekal dengan sifat sempurna, oleh sebab itulah kita mensyaratkan isti’ab (menyapu secara keseluruhan)
            Mazhab Syafi’i yang mengatakan sapu hingga ke siku berdalil dengan firman Allah s.w.t. وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Mereka berkata, disebutkan tangan secara mutlak merangkumi hingga ke bahu, maka lengan juga termasuk dalam umumnya nama tangan itu, kemudian dibataskan sapuan pada tayammum dengan ditaqyidkan tangan sama seperti ditaqyidkan pada wudu` hingga siku. Begitu juga sekiranya sapuan pada muka secara keseluruhan maka sapuan pada tangan juga secara keseluruhan.
            Imam Ahmad, Ishaq, Ibn Hazm dan Ahli hadis mengatakan bahawa memadai dengan sekali tepuk dan sapu hingga pergelangan tangan sahaja kerana beramal dengan hadis ‘Amar yang merupakan hadis yang paling sahih dalam perkara ini sebagaimana yang diakui oleh al-Turbashti, al-Khattabi, Ibn Daqiq al-‘Id dan lain-lain.
            Hafiz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan, hadis-hadis berkenaan tayammum tidak ada yang sahih melainkan hadis Abu al-Juhaym dan ‘Ammar. Adapun hadis yang lain, sama ada dha’if atau khilaf tentang marfu’ atau mawquf tetapi yang rajih ialah tidak marfu’. Hadis Abu al-Juhaym menyebutkan tangan secara mujmal. Hadis ‘Ammar pula dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim menyebutkan tangan hingga ke pergelangan, dalam kitab-kitab sunan pula disebutkan hingga ke siku. Dalam satu riwayat yang lain pula hingga ke separuh lengan dan ada juga riwayat hingga ke ketiak. Riwayat hingga ke siku dan juga hingga ke separuh lengan dipertikai oleh ulama tentang kesahihannya. Riwayat hingga ke ketiak pula Imam alSyafi’i dan juga ulama lain mengatakan jika ianya berdasarkan kepada perintah Rasulullah s.a.w. maka riwayat-riwayat lain yang sahih memansukhkannya. Sekiranya tidak diperintah oleh baginda maka yang menjadi hujah adalah apa yang diperintah baginda. Antara perkara yang menguatkan riwayat al-Bukhari dan Muslim yang membataskan pada menyapu muka dan tangan hingga ke pergelangan ialah ‘Ammar memberi fatwa berdasarkan kepada hadis ini dan perawi hadis lebih mengetahui maksudnya daripada orang lain apatah lagi seorang sahabat yang mujtahid.
v  Kaedah jam’u’ dan tawfiq
Mazhab imam Malik mengompromikan hadis tentang kayfiat tayammum ini dengan mengatakan wajib menyapu hingga pergelangan tangan dan sunnat menyapu sehingga ke siku ya’ni menafsirkan hadis Ibn ‘Umar dengan makna sunnah sementara hadis ‘Ammar sebagai kadar wajib. Ibn Rushd mengatakan ini adalah mazhab yang baik kerana jama’ lebih utama daripada tarjih, walau bagaimanapun kaedah ini sesuai jika hadis-hadis tersebut sahih.

3.      Contoh hadis Tentang Tanawu’ fil ibadah tentang keberagaman bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ.[10]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harbin dan Ishaq bin Ibrahim, berkata Zuhair telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mansur dari Abu Dhuha dari Masruq dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw memperbanyak membaca dalam ruku’ dan sujud beliau, “Subhanakallahumma rabbana wabihamdika Allahhummaghfirli (Maha Suci Engkau ya Allah tuhan kami dan segala puji bagimu, ya Allah ampunilah kami), (dengannya) beliau menafsirkan Al-Qur’an (QS. An-Nashr: 3).
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ.
Artinya:  Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Yunus bin Abdul A’la, mereka berdua berkata telah diberitakan kepada kami Ibnu Wahab telah diberitakan kepadaku Yahya bin Ayyub dari ‘Umarah bin Ghaziyyah dari Summayya mantan budak Abu Bakar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw dalam sujud beliau membaca, “Allahummafirli dzanbi kullahu diqqahu wajillahu wa auwalahu wa akhirahu wangalaniatahu wa sirrahu (Ya Allah Ampunilah dosa-dosaku semuanya baik yang kecil/ sedikit maupun yang besar/banyak, baik yang awal maupun yang akhir, baik terang-terangan maupun yang tersembunyi).”
و حَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ.
Artinya: Dan telah menceritakan kepadaku Hasan bin Ali Al-Hulwani dan Muhammad bin Rafi’, mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Razaq telah diberitakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata; aku bertanya kepada Atha’ apa yang engkau baca di dalam ruku’? Ia menjawab, “Subhanaka wa bihamdika La ilaha illa anta.” Demikian diberitakan kepadaku Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah, ia berkata: Aku kehilangan Nabi saw pada suatu malam, maka aku mengira beliau pergi ke istri beliau yang lain, maka aku berusaha mencari beliau lalu kemudian pulang, aku mendapati beliau sedang ruku’ atau sujud seraya membaca, “Subhanaka wabihamdika La ilaha illa anta. (Maha Suci Engkau dan segala puji bagi-Mu, tiada Tuhan selain Engkau) .
Tiga contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya manakah yang menurutnya tepat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, atau makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan ketika sujûd dan rukû’. Masih banyak bacaan yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, maupun bacaan yang lainnya. Maka cara penyelesaiaan hadis di atas adalah menggunakan metode tanawu’ fil ibadah. 

BAB III
KESIMPULAN

Hadis-hadis tanawwu’ al ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut. istilah hadis-hadis tanawu’ al-badah ini adalah hasil  dari upaya Imam al-Syafi’i  dalam menyelesaikan hadits hadits yang dianggap sebagian ulama  sebagai hadits-hadits yang bertentangan atau tidak sejalan.
Dalam menyelesaikan hadis-hadis tanawu’ Al-Ibadah, pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam kategori hadis makbul atau tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada pertentangan atau tidak. Apabila ternyata semua termasuk kategori hadis makbul dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujjahannya untuk diikuti dan diamalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, Cet. I, (Banda Aceh: Citra Jaya, 2002)
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i jilid I, cet 2 (Jakarta: Pustaka    Azzam, 2007)  
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)  
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999)
Syuhudi Ismail,  Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994 )
Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy Al-Naisâbûriy , Shahih Muslim, (al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001) terbitan satu jilid
Ibnu Taimiyah, Mu’jam ala-Fatawa, ( Bairut : Dar al-Arabiyah,  1398 H) 
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Um, bab ikhtilaf al-Hadits, (Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1993) 





[1] . Syuhudi Ismail,  Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994 ) hal. 6

[2] Ibnu Taimiyah, Mu’jam ala-Fatawa, ( Bairut : Dar al-Arabiyah,  1398 H)  juz ke 22, hal. 335
[3] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal. 81-82
[4] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Um, bab ikhtilaf al-Hadits, (Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1993)  juz IX hal. 541
[5] Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, Cet. I, (Banda Aceh: Citra Jaya, 2002), hal. 113.
[6] Muhammad  Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i jilid I, cet 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hal 36
[7] Muhammad  Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hal 44
[8] Muhammad  Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i Jilid I…, hal 36
[9] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hal .610
[10] Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy Al-Naisâbûriy , Shahih Muslim, (al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, tt) terbitan satu jilid, hal.120

About Kutaradjablog.spot

Ucapan terimakasih Admin ucapkan kepada para pengunjung yang telah setia berkunjung ke blog ini sampai hari ini. Walaupun tidak semuanya merupakan pengunjung setia ( kebanyakan pendatang baru ) tetap saja Admin merasa bahagia dengan jumlah pageview dan unique visitor yang hadir di blog Ini
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

2 komentar:

  1. ijin, sebagai sumber referensi,
    sangat bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. dengan senang hati. semoga bermamfaat. terima kasih telah mengunjungi blog kami

      Hapus