PENDAHULUAN
Manakala suatu lafal
hadits yang sukar dipahami karena jarang digunakan, maka diperlukan suatu ilmu
untuk mengetahui maknanya agar tidak salah dalam menyimpulkan kandungan isi
hadits yakni ilmu Gharib al-Hadits.
Sekian banyak hadits,
terdapat sebagian kecil hadits yang gharib. Salah satu hadits gharib
adalah berkenaan dengan ketauhidan, yaitu hadits tentang nama-nama Allah s.w.t.
Pada hadits ini terdapat sebuah kata yang gharib yakni al-Wahid.
Lafal yang gharib pada
hadits tersebut ternyata terdapat makna yang terselubung, dan ulama selisih
pendapat tentang hal itu. Di samping itu, para ulama ahli bahasa berbeda
pandangan terhadap lafal tersebut juga, ada yang men-ta`nis-kan dan ada
pula men-tadzkir-kan. Oleh karenanya, penulis ingin melihat
ulasan-ulasan beberapa ulama mengenai hadits tersebut guna membuka cakrawala
berfikir bagi para pembaca tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa
tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari segi penulisan, isi,
maupun penalaran. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang membangun sangat
diharapkan dari para pembaca demi sempurnanya pada masa akan datang.
A.
Hadits Gharib Mengenai Nama-Nama Allah
(3645)
ـ حدثنا إبْرَاهيمُ بنُ يَعْقُوب الجوزجاني ، أَخبرنا صَفْوَانُ
بنُ صَالِح أخبرناالوَلِيدُ بنُ مُسْلِمٍ ، أخبرنا شُعَيْبُ بنُ أبي حَمْزَةَ عَن أبي
الزِّنَادِ عَن الأَعْرَجِ عَن أبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ قَالَ رَسُولُ الله «إنَّ لله
تِسْعَةً وتِسْعِينَ اسْماً مِائَةً غيرَ وَاحِدَةٍ مَنْ أَحْصَاها دَخَلَ الجَنَّةَ.
هُوَ الله الَّذِي لا إلَهَ إلاّ هُوَ الرَّحمنُ الرَّحيمُ المَلِك القُدُّوسُ السَّلاَمُ
المُؤْمِنُ المُهَيمِنُ العَزِيزُ الجَبَّارُ المُتَكَبِّر الخَالِقُ البَارِىءُ المُصَوِّرُ
الغَفَّارُ القَهَّارُ الوَهَّابُ الرَّزَّاقُ الفتَّاحُ العَلِيمُ القَابِضُ البَاسِطُ
الخافضُ الرَّافِعُ المعزُّ المذِل السَّمِيعُ البَصِيرُ الحَكَمُ العَدْلُ اللّطِيفُ
الخَبِيرُ الحَلِيمُ العَظِيمُ الغَفُورُ الشَّكُورُ العَلِيُّ الكَبِيرُ الحَفِيظُ
المُقِيتُ الحَسِيبُ الجَلِيلُ الكَرِيمُ الرَّقِيبُ المُجِيبُ الْوَاسِعُ الحَكِيمُ
الوَدُودُ المَجِيدُ البَاعِثُ الشَّهِيدُ الحَق الوَكِيلُ القَوِيُّ المَتِينُ الوَلِيُّ
الحَمِيدُ المُحْصِي المُبْدِيءُ المُعِيدُ المُحْيِي المُمِيتُ الحَيُّ القَيُّومُ
الوَاجِدُ المَاجِدُ الوَاحِدُ الصَّمَدُ القَادِرُ المُقْتَدِرُ المُقَدِّمُ المُؤَخِّرُ
الأوَّلُ الآخِرُ الظَّاهِرُ البَاطِنُ الوَالِي المُتَعَالِي البَرُّ التَّوَّابُ
المنتَقِمُ العَفُوُّ الرَّؤُوف مَالِكُ المُلْكِ ذُو الجَلاَلِ وَالإكْرَامِ المُقْسِطُ
الجَامِعُ الغَنِيُّ المُغْنِي المَانِعُ الضَّارُّ النَّافِعُ النُّورُ الهَادِي البَدِيعُ
البَاقِي الوَارِثُ الرَّشِيدُ الصَّبُور [1].
Arinya: “Dari Abu
Hurairah r.a. berkata: Nabi s.a.w. bersabda sesungguhnya Allah mempunyai
sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang
menghitungnya masuk surga. Dialah Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Raja, Maha Suci, Maha Pemberi kesejahteraan,
Maha Pemberi keamanan, Maha Pemelihara, Maha Gagah, Maha Perkasa, Maha Megah Pemilik
kebesaran, Maha Pencipta, Maha yang melepaskan (membuat, membentuk, menyeimbangkan),
Maha Pembentuk rupa (makhluk), Maha Pengampun, Maha Pemaksa, Maha Pemberi
karunia, Maha Pemberi rejeki, Maha Pembuka rahmat, Maha Mengetahui (memiliki
ilmu), Yang Maha Menyempitkan (makhluk), Yang Maha melapangkan (makhluk), Yang
Maha merendahkan (makhluk), Yang Maha meninggikan (makhluk), Yang Maha
memuliakan (makhluk), Yang Maha menghinakan (makhluk), Yang Maha mendengar,
Yang Maha melihat, Yang Maha menetapkan, Yang Maha adil, Yang Maha lembut, Yang
Maha mengetahui rahasia, Yang Maha penyantun, Yang Maha agung, Yang Maha
pengampun, Yang Maha pembalas budi (menghargai), Yang Maha tinggi, Yang Maha
Besar, Yang Maha menjaga, Yang Maha pemberi kecukupan, Yang Maha membuat
perhitungan, Yang Maha mulia, Yang Maha pemurah, Yang Maha mengawasi, Yang Maha
mengabulkan, Yang Maha luas, Yang Maha bijaksana, Yang Maha pecinta, Yang Maha
pecinta, Yang Maha Mulia, Yang Maha membangkitkan, Yang Maha menyaksikan, Yang
Maha benar, Yang Maha pemelihara, Yang Maha kokoh, Yang Maha melindungi, Yang
Maha terpuji, Yang Maha pengkalkulasi, Yang Maha memulai, Yang Maha
mengembalikan kehidupan, Yang Maha menghidupkan, Yang Maha mematikan, Yang Maha
Hidup, Yang Maha mandiri, Yang Maha penemu, Yang Maha mulia, Yang Maha esa,
Yang Maha dibutuhkan (tempat meminta), Yang Maha menentukan, Yang Maha
berkuasa, Yang Maha mendahulukan, Yang Maha mengakhirkan, Yang Maha awal, Yang
Maha akhir, Yang Maha nyata, Yang Maha ghaib, Yang Maha memerintah, Yang Maha
tinggi, Yang Maha penderma, Yang Maha penerima taubat, Yang Maha penyiksa, Yang
Maha pemaaf, Yang Maha pengasih, Yang Maha penguasa kerajaan (semesta), Yang
Maha pemilik kebesaran dan kemuliaan, Yang Maha adil, Yang Maha mengumpulkan,
Yang Maha berkecukupan, Yang Maha memberi kekayaan, Yang Maha mencegah, Yang
Maha memberi derita, Yang Maha memberi manfaat, Yang Maha bercahaya (menerangi,
memberi cahaya), Yang Maha pemberi petunjuk, Yang Maha pencipta, Yang Maha
kekal, Yang Maha pewaris, Yang Maha pandai, Yang Maha sabar[2].
B. Lafal Gharib dan Penjelasannya
Menurut Ibnu al-Atsir
di dalam kitabnya al-Nihayah Fi Gahrib al-Hadits dikatakan bahwa lafal gharib
pada hadits di atas adalah وَاحِدَة. Beliau
menjelaskan makna lafal وَاحِدَة tersebut
bahwa maksudnya adalah individu yang tidak masuk yang lain ke dalam
kesendiriannya, dan tidak ada yang lain bersamanya[3].
Al-Azhari berkata bahwa
kata-kata الواحد dengan الأحد mempunyai perbedaan. Kata الأحد adalah digunakan untuk meniadakan hitungan
terhadap sesuatu, misalnya ما جاءني أحدٌ yang artinya tidak ada yang datang kepadaku
seorang pun. Sedangkan kata الواحد adalah digunakan untuk mengawali atau
membuka hitungan, misalnya جاءني واحدٌ من الناس, artinya telah datang kepadaku seorang.
الأحدmerupakan
maknanya yang satu, sedangkan الواحد
merupakan zat yang satu, yang tidak ada perumpamaan
baginya[4].
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa الواحد adalah satu yang tidak terbagi,
tiada duanya, tidak menerima bagian, dan tidak ada permisalan.
Kedua sifat الواحد dan الأحد tidak ada yang
memiliki kecuali Allah. Dia tidak ada duanya dan tidak pula ada perumpamaan
bagi-Nya[5].
C. Penjelasan Hadits
Awal matan
hadits tersebut إنَّ لله تِسْعَةً وتِسْعِينَ
اسْماً
(sesungguhnya bagi
Allah sembilan puluh sembilan nama), ini merupakan sebuah dalil bahwa sembilan
puluh sembilan nama Allah itu adalah nama-nama yang terkenal. Dalam sebuah
riwayat dikatakan bahwa nama Allah itu adalah nama-Nya yang teragung. Abul Qasim
al-Thabari mengatakan bahwa kepada Allah-lah dinisbahkan setiap nama, ketika
dikatakan الرؤوف dan الكريم maka
itu adalah nama dari nama Allah, dan ketika dikatakan nama الرؤوف atau الكريم maka
itu bukan Allah[6].
ومائة غير واحدة (seratus kurang
satu). Pada lafal واحدة terjadi
perbedaan periwayatan. Sebagian riwayat menta’nitskan seperti pada
hadits ini yaitu واحدة dan sebagian
riwayat yang lain mentadzkirkan yaitu واحد.[7]
Ibnu Hajar al-`Atsqalaniy mengatakan bahwa digunakan (ة) “Ta” ta`nits sebagai
penamaan terhadap nama Allah yang satu[8].
Nama Allah bukan hanya “Allah” saja, tapi masih banyak lainnya yang Allah
menisbahkan diri-Nya dengan nama-nama tersebut.
As-Suhaili mengatakan bahwa dita’nitskan واحد (Isim)
karena dia adalah kalimat. Beliau sependapat dengan Sibawaihi yang mengatakan
bahwa Kalimat adalah Isim, Fi’il ataupun Huruf. Oleh
karena itu, dikatakanlah Isim itu adalah Kalimat. Ibnu Malik
mengatakan bahwa dita’nitskan menjadi واحدة
dengan anggapan bahwa itu adalah makna penamaan, makna
sifat, atau makna kalimat[9].
Kebanyakan para
ulama mengatakan bahwa hikmah penyebutan مائة
غير واحدة
(seratus kurang satu) setelah تِسْعَةً وتِسْعِينَ (sembilan puluh sembilan) adalah
secara keseluruhan, untuk menentukan kepada manusia bahwa تِسْعَةً
وتِسْعِينَ
adalah bentuk penyebutan secara ijmali (umum) dan مائة
غير واحدة
adalah bentuk penyebutan secara tafshili (khusus). Maksudnya,
disebutkan seratus kurang satu sesudah sembilan puluh sembilan adalah sebagai penegasan
supaya yang mendengarkannya tidak ragu lagi bahwa apa yang didengarnya itu
benar. Hikmah lainnya adalah mengatasi salah dalam mendengar dan
mengatasi salah dalam penulisan[10].
مَنْ أَحْصَاها (barang siapa yang menghitungnya). Dalam
riwayat Imam Muslim lafal yang digunakan adalah حفظها
من[11] dan ini menjadi penafsir bagi lafal مَنْ
أَحْصَاها.[12]
Jadi أَحْصَاها bermakna حفظها yang berarti menghafalnya
(menghafal nama yang sembilan puluh sembilan tersebut). Sebagian ulama
berpendapat bahwa أَحْصَاها adalah membaca satu persatu
nama-nama Allah tersebut, seolah-olah menghitungnya. Ada pula ulama yang
berpandangan lain bahwa أَحْصَاها adalah mengetahui nama sembilan
puluh sembilan tersebut dan menghayati makna-maknanya[13].
Al-Mubarak Fauriy
Abu al-`Ala berkata di dalam kitabnya Tuhfat al-Ahwadzi bahwa Asy-Syaukaniy mengatakan
“Tafsiran pertama (riwayat Imam Muslim) merupakan tafsiran yang paling benar
yang sesuai dengan makna secara bahasa dan riwayat yang jelas menafsirkan أَحْصَاها (menghitungnya) dengan حفظها (menghafalnya)”[14]. Imam al-Nawawi berkata: “Imam al-Bukhari dan imam para muhaqqiqin
lainnya mengatakan bahwa makna أَحْصَاها adalah حفظها”[15].
دَخَلَ الجَنَّةَ (masuk surga) ini adalah balasan
bagi siapa saja yang menghafal kesembilan puluh sembilan nama-nama Allah yang
tertera pada hadits di atas. Disebutkan balasan ini dengan lafal madhi (دَخَلَ) adalah untuk menguatkan bahwa surga
benar-benar dimasuki oleh penghafal sembilan puluh sembilan nama-nama Allah
tersebut, dan dalam hal ini mustahil mereka tidak masuk ke dalam surga[16].
Para ulama sepakat
bahwa hadits ini bukanlah dalil yang
menunjukkan pembatasan banyaknya nama-nama
Allah, hadits ini bukanlah bermakna bahwa tidak ada nama lain selain nama-nama
yang sembilan puluh sembilan tersebut. Akan tetapi yang diinginkan oleh hadits
ini adalah مَنْ أَحْصَاها دَخَلَ الجَنَّةَ barang siapa yang mampu
menghafal
kesembilan puluh sembilan nama tersebut maka masuk surga. Oleh
karena itu, yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah pemberitahuan tentang masuk
surga dengan menghafal
nama-nama tersebut, bukan pemberitahuan tentang pembatasan hitungan nama-nama
Allah[17].
Nama Allah tidak terhitung banyaknya, sebagaimana hadits yang lain mengatakan
bahwa:
أسألك
بكل اسم سميت به نفسك أو استأثرت به في علم الغيب عندك[18]
Artinya: “Aku meminta pada-Mu dengan segala nama yang
telah Engkau namakan diri-Mu dengannya atau Engkau meminta dibekasi dengan nama
tersebut dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”
Manakala dikatakan segala nama yang telah Allah namakan
diri-Nya dengan nama tersebut dalam ilmu ghaib di sisi-Nya, itu
menunjukkan bahwa ketika Nabi Muhammad mengucapkan hadits tersebut beliau
sendiri tidak mengetahui seberapa banyak nama-nama yang Allah menamai diri-Nya
dengan nama tersebut. Berarti jangankan manusia biasa, Muhammad sebagai
Rasulullah saja tidak mengetahuinya. Alangkah banyaknya nama-nama Allah yang
tidak diketahui oleh manusia.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
terdahulu ada beberapa poin penting yang menjadi kesimpulan pembahasan makalah
ini, antara lain sebagai berikut.
1. Lafal gharib pada hadits tersebut mempunyai makna
yaitu individu yang tidak masuk yang lain ke dalam kesendiriannya, dan tidak
ada yang lain bersamanya.
2. واحد dan احد mempunyai perbedaan makna, واحد merupakan zat yang satu, sedangkan احد adalah maknanya yang satu.
3. واحد dan احد merupakan sifat yang hanya ada pada
Allah secara sekaligus, tidak ada pada makhluk.
4. Hadits ini berbicara masalah nama-nama Allah s.w.t. yang
di dalamnya menyinggung pembatasan hitungan nama-nama Allah. Tetapi sebenarnya
bukan itu yang dimaksudkan oleh hadits, yang ingin disampaikan kepada manusia
adalah masuk surgalah para penghafal nama-nama Allah tersebut. Nama-nama Allah
tidak terhitung banyaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam al-Nawawi, Syarah al-Nawawi `Ala Shahih Muslim,
(Beirut:
Dar al-Fikri, 1995).
Al-Mubarak Fauriy Abu al-`Ala, Tuhfat al-Ahwadzi
Syarah Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikri, t. th.).
http://soni69.tripod.com/asmaul-husna.htm
(diakses tanggal 13 Juni 2011, pukul 17:30).
Ibnu al-Atsir, Al-Nihayah Fi Gharib
al-Hadits, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), Cet. I.
Ibnu Hajar al-`Atsqalaniy, Fat-h al-Bariy Syarah
Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikri, 1993).
Muhammad bin Isa al-Tarmidzi, Sunan al-Tarmidzi,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1994).
Muslim bin al-Hujjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992).
[1] Muhammad bin Isa
al-Tarmidzi, Sunan al-Tarmidzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1994),
juz 9, h. 384.
[2] http://soni69.tripod.com/asmaul-husna.htm
(diakses tanggal 13 Juni 2011, pukul 17:30).
[3] Ibnu al-Atsir, Al-Nihayah
Fi Gharib al-Hadits, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2001), Cet. I, Jilid II, h. 829.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Al-Mubarak Fauriy Abu
al-`Ala, Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar
al-Fikri, t. th.), Juz 9, h. 383.
[8] Ibnu Hajar
al-`Atsqalaniy, Fat-h al-Bariy Syarah Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar
al-Fikri, 1993), Juz 12, h. 521.
[13] Ibid.
[15] Al-Imam al-Nawawi, Syarah
al-Nawawi `Ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikri, 1995), Juz 17, h. 5.
[18] Al-Imam al-Nawawi, Syarah
al-Nawawi `Ala Shahih Muslim...,
Juz 17, h. 5. Dan Al-Mubarak
Fauriy Abu al-`Ala, Tuhfat al-Ahwadzi... Juz 9, h. 383.
Tidak ada komentar: