Aceh di Bawah Pemerintahan Iskandar Muda
Pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh telah menjadi negara terkemuka di Asia Tenggara. Ia menguasai daerah sebagian Sumatra. Di sebelah barat wilayah kekuasannya sampai ke Mokomoko (Bengkulu) dan di sebelah timur sampai ke selatan Sungai Indragiri. Dan beberapa kerajaan di semenanjung Malaysia menjadi bahagian Kerajaan Islam Aceh.
Iskandar Muda memusatkan perdagangan merica Sumatra di Banda Aceh dan mengatur monopoli yang tidak dapat diremehkan oleh saudagar-saudagar Eropa. Kadang-kadang kapal Belanda, Inggris dan Prancis samadalam satu waktu bersamaan berlabuh di Aceh dan Iskandar Muda mengadu domba ketiga negara itu dan menaikkan harga merica susuka hatinya. Dengan memengang monopoli merica dan timah ini membuat Kerajaan Aceh kaya raya. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda kehidupan rakyat Aceh cukup aman dan sejahtera. Iskandar Muda dalam menjalankan roda pemerintahan cukup bijaksana dan adil, hukum yang diterapkan di Aceh sesuai dengan hukum syari’at Islam. Dan Iskandar Muda juga dalam penegakan hukum-hukum tidak pernah pandang bulu.
Di samping itu dalam pemerintahan Iskandar Muda hukum adat sangat dijunjung. Hukum-hukum yang dijalankan adalah hukum yang tidak bertentangan dengan syari’at. Setelah membawa Islam dan Kerajaan Aceh begitu jaya dan terkenal di dunia, pada tahun 1936 beliau wafat dan digantikan oleh Iskandar Tsani. Beliau melanjutkan kejayaan pemerintahan sebelumnya. Namun ketika beliau wafat tidak meninggalkan putra, sehingga pemerintahan dipengang oleh ratu-ratu dan ini berlangsung lebih dari setengah abad.
Adapun struktur pemerintahan dari tingkat kepala negara sampai tingkat paling kecil ialah sebagai berikut:
TINGKAT PEMERINTAHAN DAN NAMA JABATANNYA
ZAMAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM | ZAMAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA | ||
TINGKAT PEMERINTAHAN | NAMA JABATAN | TINGKAT PEMERINTAHAN | NAMA JABATAN |
Nanggroe | Sultan / Raja | Provinsi Aceh | Gubernur |
Sagoe | Ulee Balang | Kabupaten | Bupati |
Sagoe Cut | Ulee Balang Cut | Kecamatan | Camat |
Mukim | Imum Mukim | Kemukiman | Kepala / Imam Mukim |
Gampong | Geuchik | Kampung / Desa | Kepala Desa |
Jurong | Penata Jurong | Dusun / Lorong | Kepala Dusun |
Aceh di Zaman Penjajahan Belanda
Sebagaimana yang kita ketahui, dari karangan para sejarawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri bahwa Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan terakhir yang dapat dijajah atau diduki oleh Belanda.
Seluruh kepulauan Nusantara (Indonesia) sudah beratus tahun diduki oleh Belanda, termasuk Aceh. Namun Aceh tetap saja menjadi kerajaan yang berdaulat. Karena ingin menjajah atau menguasai pemerintahan dan perekonomian, pihak Belanda membuat kesepakatan kerja sama dengan pihak sekutu. Mereka melakukan persekongkolan, ekspansi, dan intervensi untuk dapat menguasai negara-negara kecil, terlebih lagi terhadap negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam. Negara-negara Barat berusaha memecah tanah orang-orang Islam dan masih terjadi sampai sekarang.
Pada tanggal 5 April 1873 Belanda tiba di perairan di Aceh, kemudian pada tanggal 8 April 1873 pasukan Belanda mendarat di pantai Ceureuman, yaitu pantai bagian timur Ulee Lheue, Banda Aceh. Setelah mendarat di Ulee Lheue, pasukan Belanda mendapat perlawanan dari laksar Aceh. Karena peralatan Belanda tergolong modern, sedangkan pasukan Aceh masih menggunakan peralatan tradisional seperti rencong, parang dan lain-lainnya sehinggga peperangan ini menjadi tidak seimbang.
Pasukan Belanda menguasai Masjid Raya Baiturrahman, namun pejuang Aceh terus melawan dengan gigih. Karena perlawanan yang gigih ini, pada tanggal 14 April 1873 pimpinan tentara J. H. R. Kohler tewas dalam sebuah penyerangan pasukan Aceh. Selanjutnya Belanda mempersiapkan agresi ke dua dengan jumlah pasukan dua kali lipat daripada pasukan pertama, agresi kali ini di bawah pimpinan Jendral Van Swietan.
Satu hal yang penting dan utama dalam sejarah perang Aceh selama 30 tahun ialah pada tahun 1893. Pada waktu itu salah satu pejuang yang gagah berani yakni Teuku Umar menawarkan diri untuk membantu Belanda melawan pejuang. Ini adalah sebuah taktik atau siasat yang digunakan oleh Teuku Umar untuk mendapatkan senjata dari Belanda. Ia hanya berpura-pura membantu Belanda, tapi pada hakikatnya ia adalah seorang pejuang besar dalam sejarah Aceh. Ketika Teuku Umar merasa pasukannya telah cukup kuat untuk melawan Belanda, ia memberontak kembali hingga gugur dalam sebuah peperangan pada tahun 1899 di Meulaboh, tepatnya di desa Suak Ujong Kalak. Tuanku Muhammad Daud, raja terakhir menyerahkan diri kepada Belanda. Maka berakhirlah sebuah kerajaan Islam yang pernah berjaya di semenanjung Malaya. Namun demikian orang-orang Aceh terus melanjutkan perlawanan di bawah pimpinan ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Antara lain di bawah pimpinan Panglima Polem, seorang uleebalang sekaligus ulama. Ada pula pejuang wanita Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Cut Malahayati, dan tokoh-tokoh lainnya.
Hingga saat ini orang Aceh belum pernah merasa dirinya ditaklukkan dan diperintah oleh Belanda. Karena mereka terus melakukan perlawanan atas kekuasaan Belanda.
Aceh di Masa Penjajahan Jepang
Jepang datang ke Aceh dengan mendaratkan pasukannya di empat tempat, yaitu; Sabang, Ujong Batee, Kuala Bugak, dan Tanjung Tiram. Jepang pada mulanya sangat populer di kalangan orang Aceh karena dianggap sebagai pembebas bangsa pribumi dari penjajahan.
Akan tetapi kemudian orang-orang Jepang mulai melukai perasaan keagamaan orang Aceh yang mayoritas beragama Islam. Jepang menyuruh menyembah ke arah istana kaisar di Tokyo setiap pagi, orang-orang Aceh mencaci-maki Jepang secara terang-terangan hingga muncul istilah yang terkenal pada waktu itu ceulet ase, geuteurimeng bui yang artinya keluar anjing masuk babi.
Tidaklah aneh, delapan bulan sejak Jepang masuk ke Aceh, orang-orang Aceh mulai memberontak kembali seperti perlawanan yang terjadi di Bayu (daerah Lhokseumawe) yang dipimpin oleh Tgk. Abdul Jalil, seorang pemuka agama di daerah itu. Pemberontakan lainnya terjadi di Pandrah, pada bulan Mei 1945 dan daerah-daerah lainnya.
Aceh di Zaman Kemerdekaan
a. Propinsi Aceh
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Di Aceh terbentuk gerakan perlawanan menghadapi tentara Belanda yang ingin berkuasa kembali di Republik Indonesia, yaitu menghimpun segala organisasi berbasis kekuatan rakyat, untuk dilatih sebagai pasukan keamanan guna mengantisipasi pasukan Belanda yang masuk ke Aceh di bawah pimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer di Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Rakyat berjuang habis-habisan untuk mempertahankan Aceh jangan sampai diduduki lagi oleh tentara Belanda.
Disebabkan Aceh tidak dapat diduduki Belanda, maka keberadaan Republik Indonesia masih diakui Internasional. Pada awalnya setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda pada tahun 1949, Aceh adalah salah satu provinsi dalam negara RI, tetapi pada tahun 1950 Provinsi Aceh dileburkan dan disatukan dengan Provinsi Sumatra Barat. Bagi pejuang Aceh merasa kecewa kepada RI dan juga syariat Islam yang dijanjikan tudak pernah direalisasikan oleh pusat (Jakarta).
Maka pada tahun 1953 di bawah pimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueh mengumumkan bahwa Aceh merupakan negara bagian dari RI yaitu: Negara Bahagian Aceh-Negara Islam Indonesia (NBA-NII) namanya Darul Islam (DI), tentaranya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Tahun 1959 dengan perundingan yang dipimpin oleh Mr. Hardi yang dikenal di pusat dengan nama “Misi Hardi”, yaitu di Aceh diberi hak sebagai derah istimewa di bidang:
1. Istimewa di bidang agama dan menjalankan syariat Islam
2. Istimewa di bidang pendidikan
3. Istimewa di bidang adat istiadat
Setelah diberi nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan persetujuan bersama antara pemerintah pusat dan DI, Tgk. Daud Beureueh pun kembali berdamai dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
b. Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Setelah perundingan selesai, Provinsi D.I. Aceh sudah resmi, namun pelaksanaan ketiga hak istimewa itu juga tidak pernah terwujud.
Pada tahun 1967 di Lhokseumawe ditemukan ladang gas alam (LNG) yang dikelola oleh PT. Arun, sejak ini timbul masalah baru. Karena pekerja PT. Arun didominasi para pekerja dari luar Aceh, dengan alasan orang Aceh belum siap sumber daya manusianya (SDM).
Dengan terjadinya migrasi pekerja luar ke tanah Aceh, berakibat menimbulkan kecemburuan sosial, dalam pepatah diungkapkan
Buya Gampong teudong-dong
Buya tamong yang po razeuki
Orang kampung cuma bisa diam
Orang masuk yang dapat rezki
Pada tahun 1976 Hasan Tiro pulang ke Aceh memproklamirkan berdirinya Negara Aceh Merdeka (AM) yang disambut dengan antusias oleh masyarakat Aceh. Mengantisipasi Aceh Merdeka, pemerintah RI memberlakukan operasi militer di tiga kabupaten yaitu: Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Melihat sistem dan pelaksanaan operasi militer banyak memakan korban dari pihak Aceh Merdeka, maka sistem perjuangan yang terang-terangan diganti dengan sistem gerilya. Nama Aceh Merdeka pun berubah menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Karena berlarut-larut dalam mengantisipasi GAM, pada tahun 1989 di Aceh diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) yang akhirnya dicabut kembali oleh Jendral Wiranto pada tahun 1998. Setelah tumbangnya rezim Soeharto, perjuangan rakyat Aceh semakin meluas sampai pada puncak referendum di halaman Masjid Raya Baiturrahman pada bulan November 1999. Maka didatangkanlah beribu-ribu pasukan untuk mengamankan Aceh. Berbagai cara/taktik yang diterapkan di Aceh tidak meredam pergolakan GAM termasuk memberlakukan otonomi khusus.
Puncak kehancuran namun menjadi hikmah bagi Aceh, ialah terjadinya gempa dan tsunami yang meluluh lantakkan bumi Aceh. Musibah ini terjadi pada hari minggu, 26 Desember 2004. Aceh memang telah hancur sejak peperangan yang berkepanjangan, ditambah lagi dengan peristiwa ini yang membuat orang Aceh kehilangan semangat.
Namun Allah swt. memberi hidayah dan hikmah kepada pihak yang berseteru. Pada tanggal 15 Agustus 2005 terjadi MoU (perjanjian perdamaian) antara pemerintah RI-GAM yang melahitkan Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh (RUU-PA).
Tidak ada komentar: