v Pengertian Adat
Kata adat berasal dari bahasa Arab yaitu Al-‘Adah (‘Adat) artinya ialah kebiasan. Jadi adat itu adalah kebiasaan, lama-lama menjadi suatu kebutuhan dan akhirnya menjadi aturan, persyaratan dan ketentuan.
Hukum dan adat tidak dapat dipisahkan, seperti hakikat dan sifat Tuhan. Dikarenakan adat itu sendiri juga merupakan hukum, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa adat adalah aturan yang menjadi ketentuan sehingga apabila dilanggar akan menerima hukuman.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia pun ikut berubah pola pikirnya, adat pun ikut berubah. Perubahan adat tersebut biasajuga terjadi karena masuknya pengaruh budaya asing, yaitu budaya yang dibawakan oleh bangsa-bangsa yang melakukan penjajahan baik di bidang ekonomi, pemerintahan dan budaya. Yang mana dalam kebudayaan tersebut melingkupi bidang agama, adat, kesenian, pendidikan, serta nilai-nilai tradisional.
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan. Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk.
Adat Aceh sebenarnya sangat tinggi nilainya, karena adat tersebut di masa pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam sebagai dasar/pedoman bagi pemerintah untuk dijadikan landasan tegaknya pemerintahan serta pelaksanaannya. Karena adat dibuat dan dilaksanakan untuk menjadi benteng agama yaitu Agama Islam, maka Islam berkembang dengan baik dan pesat di zaman dahulu.
v Masa Orde Baru
Hal ini menjadi penting melihat fenomena yang terjadi sekarang,betapa politik praktis sentralistik telah memberikan dampak perubahan signifikan untuk aceh. Terlebih lagi masa berkuasanya rezim Orde Baru dengan UU No.5 tahun 1979. UU tersebut telah mengikis peradaban Aceh dengan menafikan ekberadaan mukim dan gampong sebagai suatu sistem pemerintahan tingkat bawah (lokal).
Sejak diruntuhkannya sistem pemerintahan adat di Aceh oleh rezim Orde Baru, yang paling berdampak adalah institusi mukim. Keberadaan mukim dan perangkatnya tidak lebih sebagai symbol. Ia ada dan di akui oleh masyarakat Aceh, tetapi fungsi, tugas. Dan wewenangnya sama sekali tidak muncul. Oleh karena itu, tatkala dibincangkan bahwa Aceh mesti dikembalikan ke hukum dan adat, seperti sediakala, instuisi mukim inilah yang perlu di benahi. Mukim harus diberikan kembali haknya, tugasnya, kewajibannya, dan otoritasnya.
Setidaknya, demikian yang dapat kita tarik dari diskusi “Penguatan Pemerintahan Adat” yang diselenggarakan oleh lembaga Prodeelat, Selasa, 18 Januari 2011 lalu. Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof. Syahrizal Abbas, yang merupakan pembicara dalam diskusi warung kopi tersebut, mengungkapkan bahwa ada kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri di Aceh. Masyarakat Aceh hidup dalam bingkai syariat dan adat.
v Lembaga Adat
Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat.
Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh Lembaga Adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
v Pembagian Adat
Ø Adat Tullah
Adat Tullah adalah suatu ketentuan atau suatu aturan yang berdasarkan Kitabullah (Al-Quran) dan Al-Hadits. Aturan tersebut tidak boleh dirubah-rubah, harus disosialisasikan/disyi’arkan dalam masyarakat. Pada dasarnya hakikat Adat Tullah itu merupakan dari Syariat Islam.
Contoh:
Oleh karena Adat Tullah sumbernya dari Al-Quran, maka segala aturan yang termaktub dalam Al-Quran dan dijadikan persyaratan dalam pergaulan hidup bermasyarakat sehari-hari, maka aturan tersebut dengan sendirinya berubah menjadi Adat Tullah.
Umpamanya:
1. Pada acara pernikahan ada aturan/ketentuan yang harus dipenuhi, apabila ketentuan itu tidak dipenuhi, maka acar pernikahan tersebut tidak sah.
2. Rutinitas seperti shalat jum’at, memperingati Nuzulul Quran, Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.
Ø Adat Mahkamah (Meukuta Alam)
Salah satunya adalah struktur pemerintah, yang termasuk dalam adat struktur di bidang pemerintahan antara lain:
TINGKAT PEMERINTAHAN DAN NAMA JABATANNYA
ZAMAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM | ZAMAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA | ||
TINGKAT PEMERINTAHAN | NAMA JABATAN | TINGKAT PEMERINTAHAN | NAMA JABATAN |
Nanggroe | Sultan / Raja | Provinsi Aceh | Gubernur |
Sagoe | Ulee Balang | Kabupaten | Bupati |
Sagoe Cut | Ulee Balang Cut | Kecamatan | Camat |
Gampong | Geuchik | Kampung / Desa | Kepala Desa |
Jurong | Penata Jurong | Dusun / Lorong | Kepala Dusun |
Mukim | Kemukiman | Kepala / Imam Mukim |
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.
Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita dengar. Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum atau kerabatnya, orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.
Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat lainnya.
Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Ø Adat Tunah
Adat Tunah asal katanya “Tunas” dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Aceh tunahyang dimaksud dalam ungkapan ini adalah kiasan suatu yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, umpamanya tunas kayu pada pohon yang akan tumbuh cabang dan pada cabang tumbuh ranting, begitu juga pada rumpun bambu dan rumpun pisang bahwa pada pangkal pohonnya dalam rumpun tersebut tumbuh tunas anak bambu atau tunas anak pisang dan berkembang menjadi besar.
Tunas itu berarti suatu adat yang mengalami perubahan atau mengalami pertumbuhan dengan munculnya adat-adat atau diadakan oleh seseorang secara pribadi untuk menggembirakan kelompok keluarga kemudian diikuti oleh keluarga lain, yang mengalami kemajuan pesat, acara tersebut menjadi keharusan/kebiasaan bagi masyarakat setempat. Oleh karena pertumbuhannya itu maka sudah muncul adat (kebiasaan) baru, kebiasaan baru itulah yang dinamakan Adat Tunah.
Contoh:
Adat menyambut kelahiran anak, adalah kebiasaan masyarakat membuat/mengadakan acara yang sesuai dengan ketentuan ajaran Islam dan sesuai pula dengan kepercayaan, tradisi orang-orang tua yang pernah dilakukan tempo dulu, yaitu koh oek (potong rambut), peucicap (memberi rasa makanan) dan mengadakan akikah.
v Peran Ulama
Setidaknya ada dua fungsi yang dilakukan oleh ulama sebagai pengawal agama masyarakat Aceh, yaitu fungsi pendidikan dan fungsi dakwah. Kedua fungsi inilah yang kemudian mendorong penglibatan peran ulama dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Lihat misalnya kajian yang dilakukan oleh Yusni Saby yang mengambil kesimpulan bahwa ulama adalah pengawal masyarakat di mana segala aktifitas yang dilakukan oleh ulama ini terlibat dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Berdasarkan fenomena tesebut maka adalah suatu hal yang sangat wajar apabila Rasululullah dalam beberapa hadits mensyaratkan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh ulama. Menyangkut tentang tanggung jawab kepada umat Rasulullah SAW menerangkan bahwa ulama di muka bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang member petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Apabila bintang-bintang itu terbenam, maka dikhawatirkan orang-orang akan tersesat jalannya. Hampir senada dengan itu dalam hadits yang lain, Rasul bersabda bahwa ulama itu adalah panutan dan pemimpin umat. Barangsiapa yang senantiasa bergaul dengannya, maka akan bertambah kebaikannya. Dari sudut pandang keberlangsungan perjuangan misi agama, para ulama ini didudukkan pada posisi yang sangat istimewa sekali, yaitu sebagai pengganti rasul. Hal ini disabdakan sendiri oleh Rasul melalui sabdanya bahwa para ulama adalah pewaris para nabi-nabi. Lebih tegas lagi dari sisi tanggung jawab keummatan Rasul menjelaskan bahwa ulama adalah pemegang amanah Allah ke atas makhluk-Nya.
Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh ulama Aceh sudah terlihat semenjak Islam diperkenalkan kepada masyarakat. Penyebaran dan pengenalan Islam kepada masyarakat pada waktu itu juga dilakukan melalui pendidikan. Lembaga pendidikan Zawiyah (sekarang dikenal dengan nam dayah) adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh pada masa itu.
Ulama melalui lembaga pendidikan dayah telah sangat berjasa mengajarkan pendidikan agama sampai sekarang ini. Berkat jasa para ulama itu juga sekarang ini lembaga pendidikan dayah dan balai-balai pengajian sudah benteng utama pertahanan syiar Islam di bumi Aceh walaupun selalu dihantam oleh berbagai gerakan pemudaran syariat dengan berbagai bingkai seperti pluralisme, leberalisme, sekulerisme dan berbagai isme-isme yang sesat lainnya. Kita harus yakin bahwa jika Aceh tidak memiliki jaringan lembaga dayah yang mengakar ke dalam masyarakat seperti sekarang ini, niscaya Aceh akan terbenam ke dalam kubangan kejahilan, kemungkaran bahkan kemurtadan. Maka oleh karena itu para ulama atau pemuka dalam masyarakat harus memberi arahan / bimbingan dengan penuh kebijakan kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Umar, Muhammad. Peradaban Aceh (Tamaddun). Banda Aceh: Tanpa Penerbit. (tt)
http://al-aziziyah.com/opini/64-pendidkan/204-optimalisasi-peran-ulama-dalam-penegakan-syariat-islam-di-aceh.
Tidak ada komentar: