» » Hadis Mukhtalif Tentang Mu'amalah

Hadis merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an, dikarnakan fungsi hadis adalah sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih global dan umum, hadis juga merupakan sumber penetapan hukum yang belum ditetapkan dalam al-Qur’an. Sebagai penjelas dari al-Qur’an, maka mestinya hadis dapat dipahami sesuai dengan kemampuan mereka yang mendengar atau membaca serta mengkaji hadis.
Oleh karena itu  jika terdapat hadis yang tampak bertentangan dengan hadis lainnya (tidak sejalan satu dengan yang lain), bertentangan dengan nash al-Qur’an atau bahkan dianggap tidak masuk akal, maka kemungkinan hadis tersebut tidak berasal dari Nabi saw, atau  mungkin saja pemahaman kita terhadap pernyataan itu kurang tepat sehingga perlu untuk dikaji lebih teliti agar tidak timbul anggapan bahwa Nabi tidak konsisten atau anggapan-anggapan buruk lainnya.
Hadis yang telah sampai pada kita hari ini begitu banyak jumlahnya, telah dikumpulkan dalam kitab-kitab, dan diamalkan dalam kehiduupan sehari-hari, namun di antara hadis-hadis tersebut terkadang ada hadis yang tampak tidak sejalan satu dengan yang lainnya (bertentangan), bahkan ada kelompok-kelompok yang mencari-cari kesalahan atau kelemahan Islam dari bagian tersebut. Di antara hadis-hadis yang dianggap bertentangan adalah hadis tentang muamalah, yaitu hadis-hadis yang membahas tentang urusan dunia. Baik itu jual beli, nikah, sangsi-sangsi dan lain sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah ini.
                                                                     BAB II
PEMBAHASAN

1.      Hadis Mukhtalif Tentang Muamalah
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya.
Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian mu’amalah. Menurut Louis Ma’luf, muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek mu’amalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Sedangkan dalam arti yang sempit, pengertian mu’amalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar manfaat. Dari berbagai pengertian mu’amalah tersebut, dipahami bahwa mu’amalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.[1]
Contoh-contoh hadis tentang muamalah yang dianggap bertentangan:
a.    Menjual (Barter) Perak dengan Emas Tidak secara Tunai
عن شعبة قال: أخبرني حبيب بن أبي ثابت قال: سمعت أبا المنهال قال: سألت ألبراء بن عازب وزيد بن أرقم  رضي الله عنه عن الصرف،  فكل واحد منهما يقول: هذا خير منّي، فكلاهما يقول: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الذهب باورق دينا.[2]
Artinya: Dari Syu’bah’ dia berkata: habib bin Abu Tsabit telah mengabarkan kepadaku, dia berkata: Aku mrendengar Abu Minhal berkata,”Aku bertanya kepada Bar’ bin Azib dan Zaid bin Arqam RA tentang menjual (barter) emas emas dan perak, maka setiap salah seorang dari mereka berkata, ‘ Ini lebih baik bagiku’. Masing-masing berkata, Rasulullah Saw melarang menjual (barter) emas dengan perak dengan cara utang (tidak tunai).
عن عبد الرحمن بن أبي بكرة عن أبيه رضي الله عنه قال: نهى النبـي صلى الله عليه وسلم عن الفضة بالفضة والذهب بالذهب إلا سواء بسواء، وامرنا أن نبـتاع الذهب بالفضة كيـف شئـنا، والفضة بالذهب كيـف شئـنا.[3]
Artinya: Dari Abdurrahman bib Abi Bakrah, dari bapaknya RA, dia berkata: “Nabi Saw melarang (barter) perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan beliau memerintahkan kami untuk melakukan jual beli (barter) emas dengan perak sebaimana kami inginkan, dan (barter) perak dengan emas sebagaimana kami inginkan.
Hadis di atas sama-sama shahih dan sama-sama dapat dijadikan hujjah, dalam penetapan hukum, namun secara lahir kedua hadis ini tampak bertentangan. Pada hadis yang pertama Nabi melarang untuk menjual (barter) emas dengan perak dengan cara utang, tapi pada hadis yang kedua abi melarang (barter) perak dengan perak, emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan beliau memerintahkan untuk melakukan jual beli (barter) emas dengan perak sebaimana yang diinginkan, dan (barter) perak dengan emas sebagaimana yang diinginkan.
Pertentangan yang tampak kedua hadis di atas dapat diselesaikan dengan cara al jam’u wa taufiq yakni berdasarkan pemahaman korelatif, maksudnya yaitu kedua hadis yang dianggap bertentangan dikaji dengan memperhatikan keterkaitan antara makna yang satu dengan makna yang lainnya agar maksud atau makna kandungan hadis dapat dipahami dengan baik dan dapat ditemukan pengkompromiannya.
Bila diperhatikan makna lahiriah dari kedua hadis di atas, tampak bahwa hadis-hadis tersebut saling bertentangan, dan pertentangan yang tampak pada kedua hadis di atas terdapat pada larangan cara pembayaran secara utang (pada hadis pertama) dan pada lafal كيـف شئـنا  (sebagaimana kami inginkan) dihadis kedua. Dengan adanya lafal كيـف شئـنا (sebagaimana kami inginkan) sekilas mengakibatkan ada yang memahami bahwa yang dimaksud dari hadis kedua adalah bolehnya pembayaran secara utang. Jika demikian hadis tersebut dipahami, maka wajar ke dua hadis tersebut dianggap bertentangan.
Imam Muslim juga meriwayatkan melalui Yahya bin Abu Katsir dari Yahya bin Ishaq tanpa menyebutkan lafalnya.[4] Abu Awanah menyebutkan dalam kitabnya Al Mustakhraj, dimana pada bagian akhir dari hadis yang kedua di atas disebutkan, والفـضة بالذهب كيف شئتم يدا بيد  (dan perak dengan emas sebagaimana kalian inginkan [apabila] dari tangan ke tangan [secara tunai]).[5]
Dari riwayat tersebut, jelas bahwa yang dimaksud كيـف شئـنا (sebagaimana kami inginkan) pada hadis kedua di atas bukan berarti bahwa membolehkan menjual (barter) emas dengan perak dengan cara utang (tidak tunai). Dan yang yang dimaksud dari lafal كيـف شئـنا (sebagaimana kami inginkan) adalah bolehnya untuk menetapkan harga atau jumlah emas dan perak yang dijual sebagaimana yang diinginkan. Jadi jelaslah bahwa kedua hadis di atas tidak bertentangan, dalam artian kedua hadis tersebut sama-sama melarang menjual (barter) emas dengan perak dengan cara utang (tidak tunai).
b.    Hak Mendapatkan Hasil Disebabkan Oleh Keharusan Menanggung Kerugian
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ مَخْلَدِ بْنِ خُفَافٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ.[6]
Artinya: Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Abi Zi’bin dari Makhlad bin Khufaf dari Urwah dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”. (HR. Abu Daud).
Maksudnya, seseorang membeli hamba sahaya lalu ia menggunakanya sesaat kemudian muncul cacat, lalu hamba sahaya tersebut dikembalikan, dia pun tidak harus membayar apa yang telah diambil dari budak tersebut berupa tenaganya yang dipakai, ini merupakan keuntunganya, karena ia beresiko menanggung kerugian, jika budak itu meniggal dunia maka hilanglah hartanya.
Di hadis yang lain disebutkan:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ وَهِشَامٌ وَحَبِيبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اشْتَرَى شَاةً مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ طَعَامٍ لَا سَمْرَاءَ.[7]
Artinya: Telah bercerita kepada kami Musa bin Ismail telah bercerita kepada kami Hammad dari Ayyub dan Hisyam dan Habib dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw bersabda, “Barang siapa membeli kambing yang puting susunya diikat untuk menipu pembeli, maka ia memiliki khiyar (hak memilih antara melanjutkan akad atau tidak) selama tiga hari. Apabila ia menghendaki, maka ia boleh mengembalikanya bersama dengan satu sha’ makanan”. (HR. Abu Daud).
            Menurut para mutakallim, hadis ini bertentangan dengan hadis yang pertama, padahal susu yang telah diambil itu adalah hal yang bersifat lebih, akibat menanggung kerugian. Jika kambing itu mati, maka hartanya (si pembeli) pun akan hilang. Jadi hak mendapatkan keuntungan atau hasil disebabkan oleh menanggung kerugian, dan hal ini tidak ada perbedaan diantara keduanya.
            Sedangkan menurut Abu Muhammad, diantara keduanya terdapat perbedaan yang cukup jelas, karena antara kambing yang musharrah (yang diikat kantong susu nya agar terlihat banyak susunya) dengan kambing yang susunya tidak diperah beberapa hari agar terkumpul banyak itu merupakan satu jenis.
Apabila seseorang datang membelinya, lalu ia memerah susunya baik satu kali perahan maupun dua kali perahan. Apabila susu itu habis, baru tampak kambing itu muhaffalah, maka si pembeli itu segera mengembalikanya disertai dengan menyerahkan satu sha’ makanan. Karena susu yang terkumpul di embing kambing tersebut sebenarnya milik penjual kambing, bukan miliknya. Maka dari itu, ia harus mengembalikan nilainya.
            Adapun dalam hukum budak jika dijual dan terdapat cacat pada dirinya dan ketika itu cacatnya tidak terlihat maka tidak boleh dijual begitu juga dengan hasil darinya, sesungguhnya hasil darinya itu milik pembeli, maka ia tidak wajib mengembalikan apapun darinya.[8]

c.    Rasulullah Menikah Sedang Beliau Sedang Ihram Atau Ihlal

حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى ح و حَدَّثَنِي أَبُو الْخَطَّابِ زِيَادُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَوَاءٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ مَطَرٍ وَيَعْلَى بْنِ حَكِيمٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ[9]
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma’i, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, telah menceritakan kepadaku Abu Al Khatab Ziyad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sawa’, telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Mathar dan ya’la bin Hakim dari Nafi’ dari Nubaihi bin Wahab dari bapak kami bin Usman dari Usman bin Afwan bahwa rasulullah saw. Bersabda: Orang yang didalam ihram tidak boleh menikah, tidak boleh mengawinkan orang lain dan juga melamar”. (H.R Muslim).
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا دَاوُدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ   [10].
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Daud bin Abdurahman dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid Abi Syaisas dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia pernah berkata: “Rasulullah saw telah menikah dengan Maimunah, sedangkan beliau dalam ihram.” (HR. Muslim).
Hadis pertama di atas jelas melarang seseorang yang sedang ihram untuk menikah, mengawinkan, dan melamar. Namun berikutnya pada hadis riwayat Ibnu Abbas dinyatakan bahwa Rasul menikah dengan Maimunah saat beliau sedang dalam keadaan berihram. Jadi sekilas kedua hadis tersebut bertentangan, karena pada satu sisi Rasul melarang untuk menikah ketika masih dalam ihram, namun di sisi yang lain beliau sendiri menikah sedang beliau dalam keadaan ihram.
Pertentangan kedua hadis di atas dapat diselesaian dalam bentuk tarjih (thariqatut-tarjih). Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lain. Jadi dalam kasus hadis-hadis mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan dan diantaranya tidak terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih jauh agar dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.[11]
Berikut ini cara penyelesaiannya:
1.Riwayat yang pertama menyatakan bahwa Nabi melarang menikah dalam ihram. Pada riwayat Ibnu Abbas dinyatakan bahwa Rasul menikah dengan Maimunah saat beliau sedang dalam keadaan berihram Cerita-cerita ini bertentangan. Oleh karena pertentangan itu, maka dua riwayat tersebut, perlu di jama’ atau di tarjih. Dan dikarenakan adanya beberapa riwayat yang membahas tentang ini, maka kedua hadis ini dapat diselesaikan dengan cara tarjih.
  1. Kedua- dua  riwayat derajatnya samaa-sama shahih
  2. Setelah diperiksa, ternyata tidak terdapat keterangan yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas  yang mengatakan Nabi menikah dalam ihram.
  3. Dilihat pada riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid bin Asham. Kita dapati ada yang membantunya, yaitu dari empat jurusan:
    1. Yang meriwayatkan dalam ihlal, adalah Mimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima daripada orang lain menceritakannya.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو فَزَارَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ[12]
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam, telah menceritakan kepada kami jarir bin jazim, telah menceritakan kepada kami Abu Fazarah dari Yazid bin Al-Asham, ia berkata: “telah menceritakan kepadaku, Maimunah bintul Haris, bahwa Rasulullah saw menikah dengannya sedang Nabi dalam ihlal.” (HR. Muslim).
    1. Abu Rafi’ meriwayatkan kejadian perkawinan itu, dalam ihlal juga.
    2. Diantara sahabat ada yang menyalahkan pendapat Ibnu Abbas tentang dalam ihram, tetapi terhadap riwayat Abu Rafi’ mereka tidak membantah.
    3. Perkataan  Maimunah dalam cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan Nabi saw tentang “tidak boleh menikah dalam ihram”,
Dengan bantuan empat cara diatas, jadi kuatlah riwayat yang menyatakan Nabi melarang menikah dalam ihram, serta ditolaklah riwayat yang mengkhabarkan Nabi menikah dalam ihram.   
  1. Riwayat yang kuat  disebut Rajih, artinya: yang berat atau yang kuat.
  2. Riwayat yang tidak dipakai dikatakan Marjuh, artinya: yang diberati, yakni yang tidak kuat.
                                                                           BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada hadis-hadis mukhtalif khususnya tentang muamalah  masih memiliki kemungkinan besar untuk dapat diamalkan keduanya, yang berarti tidak baik untuk mengabaikan salah satunya.
Dari beberapa contoh pada pembahasan tersebut, kita dapat melihat hadis-hadis yang sepintas lalu disangka bertentangan pada zahir-nya ternyata dapat dikolerasikan sehingga semua hadis-hadis itu dapat diterima dan diamalkan.
Pada kasus yang pertama kita menemukan bahwa metode al-jam’u wa at-taufiq menjadi solusi terhadap kerancuan yang ditimbulkan oleh lafal yang terkandung dalam salah satu hadis, dan setelah dibahas secara lebih terperinci ternyata keduanya tidaklah saling bertentangan.
Begitu pula dengan kasus yang kedua, walaupun menurut pendapat ulama mutakallimin hadis-hadis pada kasus ini saling bertentangan sehingga sukar untuk dipahami, adapun ulama hadit ternyata tidak menganggapnya sebagai hadis-hadis mukhtalif. Hadis-hadis tersebut memiliki perbedaan kasus yang jelas, yang satu berkisar seputar jual-beli hewan, sedangkan yang satunya lagi berkisar seputar jual-beli budak. Jika keduanya dilihat dari segi ulama mutakallimin yang mempermasalahkan segi keharusan seseorang menanggung kerugian, maka ia menjadi bertentangan, padahal jika dipahami sebagai kasus yang berbeda maka kedua hadis tersebut tidaklah bertentangan.
Demikian juga hadis yang ketiga tentang pernikahannya dengan Maimunah dalam ihram yang dianggap saling betentangan sehingga susah dipahami. Kedua hadis ini memang secara zahir nampak betentangan, tetapi pertentangannya dapat diselesaikan dengan jalan mentarjih kedua hadis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Syarah Hadis Pilihan Bukhari-Muslim terj Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul Falah, 2004).
Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999).
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari jilid 12, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
Ibnu Qutaibah, Takwil Mukhtalaf Al Hadis terj Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jilid7,( Qahirah: Darul Hadis 1991).




[1]Minhajuddin, Fiqh tentang Muamalah Masa Kini (Ujungpandang: Fakultas Syariah IAIN Alaudddin, 1989), hlm 176-178.
[2]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Jilid 12, terj, Amiruddin ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm 302-303.
[3]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Jilid 4, terj.... hlm  434.
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari jilid12 ...hlm 305.
[5] Ibid... hlm 305.
[6] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm 219.

[7] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud... hlm 179.

[8] Ibnu Qutaibah, Takwil Mukhtalaf Al Hadis terj Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm 378.
[9]Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jilid7,( Qahirah: Darul Hadis 1991), hlm 216.
                                                      
[10] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jilid7... hlm 220.
                [11] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy, Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hlm 102.
[12] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jilid7... hlm 219.

About Kutaradjablog.spot

Ucapan terimakasih Admin ucapkan kepada para pengunjung yang telah setia berkunjung ke blog ini sampai hari ini. Walaupun tidak semuanya merupakan pengunjung setia ( kebanyakan pendatang baru ) tetap saja Admin merasa bahagia dengan jumlah pageview dan unique visitor yang hadir di blog Ini
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply